4 Hal yang Wajib Anda Persiapkan Sebelum Berkunjung ke Suku Kajang
Ammatoa Bulukumba Gumam Suku Kajang
Besok, saya dan rekan-rekan di Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam khususnya program studi Filsafat Agama, akan berangkat ke Bulukumba untuk melakukan suatu penelitian tentang suku Kajang. Penelitian ini diinisiasi oleh kami atas dasar pemenuhan tugas final semester ganjil (semester tiga) pada mata kuliah Antropologi Agama. Nah, di tulisan ini, saya sekadar ingin berbagi unek-unek tentang: apa sih yang mesti dipersiapkan ketika hendak berkunjung ke daerah suku Kajang?
Pertama, pengetahuan tentang suku Kajang.
Secara teoritis, apapun yang akan kita lakukan akan sulit terlaksana dengan efisien jika kita tidak memiliki konsepsi atau pengetahuan tentang sesuatu yang akan kita lakukan tersebut. Oleh karena itu, persiapan yang paling pertama yang wajib kita persiapkan untuk berkunjung ke suku Kajang adalah pengetahuan tentang suku Kajang itu sendiri. Pengetahuan yang sifatnya a priori, terkecuali Anda memang sudah pernah menginjakkan kaki di sana maka pengetahuan Anda sifatnya a posteriori.
Suku Kajang adalah salah satu suku tradisional, yang terletak di kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Daerah suku Kajang ini terbagi menjadi dua bagian yakni Kajang Bagian Dalam dan Kajang Bagian Luar.
Daerah Kajang bagian dalam biasa juga disebut Kajang dalam atau ‘tau Kajang’. ‘Tau Kajang’ inilah yang bermukim dan hidup dalam nilai-nilai adat istiadat yang kental. Sedangkan daerah bagian luar disebut Kajang luar atau ‘tau lembang’ yakni orang-orang yang bermukim di sekitar suku murni Kajang. Orang-orang yang di daerah Kajang luar (tau lembang) hidup dengan sedikit lebih modern dibandingkan suku di daerah Kajang dalam (tau Kajang). Nah, yang akan saya dan teman-teman kunjungi adalah Kajang bagian dalam atau tau Kajang.
Sebagaimana dilansir dari ammatoa.com, bahwa secara geografis dan administratif, masyarakat adat Kajang terbagi atas Kajang Dalam dan Kajang Luar. Masyarakat adat Kajang Dalam tersebar di beberapa desa antara lain: Desa Tana Toa, Bonto Baji, Malleleng, Pattiroang, Batu Nilamung dan sebagian wilayah Desa Tambangan. Kawasan masyarakat adat Kajang Dalam secara keseluruhan berbatasan dengan Tuli di sebelah Utara, dengan Limba di sebelah Timur, dengan Seppa di sebelah Selatan, dan dengan Doro di sebelah Barat. Sedangkan Kajang Luar tersebar hampir seluruh kecamatan Kajang dan beberapa desa di wilayah Kecamatan Bulukumba, di antaranya Desa Jojolo, Desa Tibona, Desa Bonto Minasa dan Desa Batu Lohe (Aziz, 2008).
Pembagian inilah yang memetakkan corak masyarakat Kajang. Meskipun kedua pemetaan ini adalah semuanya suku Kajang, namun hanya masyarakat adat Kajang Dalam (tau kajang) yang berpegang teguh kepada adat Ammatoa. Adat Ammatoa inilah yang identik dengan anti-modernisasi.
Mereka mempraktikkan cara hidup sangat sederhana dengan menolak segala sesuatu yang berbau teknologi. Bagi mereka, benda-benda teknologi dapat membawa dampak negatif bagi kehidupan mereka, karena bersifat merusak kelestarian sumber daya alam. Komunitas yang selalu mengenakan pakaian serba hitam inilah yang kemudian disebut sebagai masyarakat adat Ammatoa (Widyasmoro, 2006).
Sebagaimana yang dinukilkan oleh Widyasmoro di atas, warna hitam dalam adat istiadat Ammatoa sangatlah dijunjung tinggi. Hitam bagi adat Ammatoa bermakna persamaan derajat dalam segala hal. Kesamaan dalam kesederhanaan. Sebab warna hitam adalah warna yang sederhana. Dan olehnya itu, dalam memasuki kawasan Kajang Dalam atau kawasan adat Ammatoa kita diwajibkan memakai pakaian berwarna hitam. Hitam sederhana. Sederhana dalam kesetaraan dan kesamaan dalam kesederhanaan.
Kedua, menyiapkan pakaian yang semuanya berwarna hitam.
Berdasarkan pengetahuan tentang ciri khas dan kepercayaan adat Ammatoa Kajang di atas, maka sudah sepantasnyalah kita mempersiapkan segala yang menjadi syarat agar diterima dengan baik di sana. Termasuk persoalan pakaian. Sehingga hal kedua yang wajib dipersiapkan adalah pakaian yang serba hitam. Saya belum mendapatkan referensi yang cukup kuat dan mendalam mengenai pakaian hitam ini. Apakah pakaian hitam yang dimaksud adalah pakaian hitam mulai dari topi hitam (jika kita pakai topi) sampai pada celana dalam berwarna hitam? Entah. Tetapi sebagaimana pepatah mengatakan “sedia payung sebelum hujan”, maka elok kiranya jika Anda juga mempersiapkan celana dalam berwarna hitam.
Ketiga, kesiapan untuk melepaskan ideologi modernitas.
Suku Kajang adalah salah satu suku tradisional yang sangat anti terhadap modernitas. Sehingga ada berbagai kepercayaan yang menjadi ciri khasnya bersifat sangat tradisional. Semisal, tidak boleh menggunakan sendal baik sendal Eiger maupun sendal jepit. Dalam hal sendal tidak ada pengecualian. Untung saja ini tidak berlaku dalam hal pakaian (baju). Anda bisa bayangkan bagaimana jika suku ini melarang pengunjungnya untuk memakai baju. Pasti lebih seru!
Bagi Anda yang tidak bisa hidup tanpa smartphone maka perlu kiranya untuk melepas niat berkunjung di sana. Sebab berdasarkan informasi dari beberapa mahasiswa yang pernah meneliti, bahwa segala bentuk smartphone atau alat yang fungsinya merekam baik audio maupun video ditolak di daerah masyarakat adat Ammatoa. Entah karena rasa takutnya masyarakat adat Ammatoa untuk dipublikasi ke khalayak lebih luas melalui smartphone tersebut atau ketakutan yang lain. Jika pun demikian bagaimana nasib stupidphone? Akankah stupidphone menuai nasib yang mujur, sehingga diperbolehkan bertandang ke daerah masyarakat Ammatoa? Ayo kita buktikan besok di lokasi.
Bagi Anda yang tidak terbiasa berjalan kaki jauh maka perlulah kiranya bersiaga dan berolahraga sebelumnya. Karena bukankah sebagaimana yang dijelaskan secara tersirat di atas bahwa di sana tidak ada mobil bus! Setidaknya berdoalah, semoga saja ada bus yang terbuat dari batang pisang sebagaimana kebiasaan anak desa menjadikan batang pisang sebagai transportasi ketika banjir di sungai datang, hehehe.
Keempat, mengetahui dan menjauhi hal-hal yang dapat menimbulkan petaka.
Perihal keempat yang wajib diketahui dan dipersiapkan adalah pengetahuan tentang hal-hal yang sifatnya sakral dan jika itu dilanggar maka menimbulkan masalah bagi Anda pengunjung kawasan adat Ammatoa. Perihal ini biasanya disebut sebagai mitos, meskipun saya pribadi masih skeptis untuk mengatakannya sebagai sebuah mitos. (Dalam tataran ilmu pengetahuan yang bersifat saintifik bolehlah kita berucap itu sebuah mitos, tetapi dalam lingkungannya sebagai kajian antropologi dan mistisisme mestilah kita berhati-hati).
Adapun hal-hal yang dimaksud di antaranya:
Pertama, menjaga etiket kemanusiaan dan kesetaraan. Karena dalam adat Ammatoa Kajang, jika terdapat orang luar yang masuk dalam wilayahnya tidak meminta izin lalu melakukan hal-hal yang tidak wajar maka ia akan dikenakan sihir. Biasanya dalam bahasa Bugis-Makassar disebut Doti. Sihir tersebut—doti, dapat berakhir pada kematian. Sehingga untuk mewaspadai hal ini, perlulah kiranya (bagi Anda yang akan berkunjung) berkonsultasi sebelumnya kepada pembimbing Anda yang menemani Anda berkunjung. Berkonsultasilah mengenai apa yang boleh Anda lakukan dan tidak boleh Anda lakukan di sana.
Kedua, perihal ini ditujukan bagi Anda yang istimewa, bagi Anda yang akan tinggal menetap di sana. Jikapun esok hari, setelah tiba di sana dan tidak ingin pulang (inginnya tinggal di Kajang) maka perlulah menerima pesan ini. Yakni: jangan pernah membuat rumah dengan bahan baku batu bata. Sebab dalam adat Ammatoa, pantang bagi seorang manusia diapit oleh tanah. Baginya, hanya orang matilah yang pantas untuk diapit oleh tanah. Dan konklusinya, rumah yang berbahan batu bata (berbahan tanah) adalah rumah bagi orang mati.
Itulah 4 hal yang wajib Anda ketahui dan yang perlu Anda persiapkan sebelum berkunjung ke daerah adat Ammatoa Kajang.
Sebagai kesimpulan: suku Ammatoa Kajang adalah suku lokal yang sangat memegang teguh ritual dan kehidupan adatnya dari nenek moyang hingga masa kini. Suku Kajang berdasarkan informasi yang saya dapat adalah suku yang sangat tidak bisa menerima perubahan atau modernitas meskipun dalam bentuk kecil. Karena perubahan yang sifatnya berbeda dengan apa yang diajarkan oleh leluhurnya dianggap melanggar hukum adat leluhur.
Inilah suku yang unik, penuh dengan kesederhanaan, manusiawi, dan tentunya alami karena bentuk atau nilai dari adat istiadatnya yang menjunjung tinggi alam semesta. Dan kelebihan-kelebihan itulah yang menjadikan suku Kajang sebagai salah satu destinasi wisata kebudayaan yang banyak dikunjungi di antara banyak kebudayaan yang ada di Sulawesi Selatan. Meskipun masih banyak berhamburan ketakutan-ketakutan orang luar ketika mendengar informasi tentang kearifan lokal suku Kajang, di antaranya ketakutan pada doti. Meskipun saya penasaran apakah masyarakat adat suku Kajang suka makan roti. Semoga pada kunjungan esok hari ke tanah adat suku Kajang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dan memuaskan hati dan pikiran.
*Informasi yang terdapat dari tulisan ini berasal dari beberapa sumber di antaranya buku, artikel internet, dan jawaban dari beberapa mahasiswa yang penulis wawancarai tentang keunikan suku Ammatoa Kajang.