Meraba Permainan Ego Tuhan Lewat Ombak

Meraba Permainan Ego Tuhan Lewat Ombak

Sepulang dari penelitian di Suku Kajang (Tana Toa, Ammatoa), aku dan teman-teman menyempatkan diri menikmati panorama di Pantai Tanjung Bira, Bulukumba. Pantai yang hembusan anginnya, rintikan hujannya, dan gemuruh ombaknya mampu menyulut hasratku sehingga menyeburkan diri dan berpadu pada keindahan kasatnya.

Sekitar 50 meter dari bibir pantai—ditandai oleh hamparan pasir putih, aku ditendang ombak dan terjatuh. Aku bukan batu karang, tak bisa bertahan di tengah derau dan halau ombak yang mematikan. Asaku untuk bisa berenang jauh ke laut bebas dan melupakan pantai urung kulanjutkan. Bagaimana tidak, ombak terlalu kejam untuk dilawan.

Akupun menepi, mencari sepi di tengah hiruk keramaian pantai. Mencoba menerka dan merenung kata-kata ombak yang terdengar lirih di telingaku. Kuambil ponsel di saku celanaku, kupakai mencatat apapun yang ombak katakan padaku. Ombak seperti guru, menasihatiku. Dan akhirnya, apapun yang kutulis di sini adalah sabdanya.

“Aku tahu, aku memang terlalu kejam untukmu. Semua itu kulakukan agar engkau tahu bahwa kehidupan tidak selamanya berdamai denganmu. Ketahuilah, bahwa aku adalah manifestasi dari kehidupan yang kau jalani,” teriak ombak itu padaku.


Pernahkah Anda ke pantai? Apa yang Anda butuhkan sehingga berkunjung pantai? Bukankah ombak itu kejam dan berbahaya? Mengapa demikian? Tapi, apakah pantai akan tetap menarik jika hampa akan akan deru ombak? Lantas apa yang menarik dari ombak di pantai?

Dari lima orang responden, 75% jawaban dari pertanyaan di atas disimpulkan bahwa ‘ombak adalah hal yang paling mereka sukai di pantai’. Bagi mereka pantai yang tidak memiliki ombak yang menggelora tidaklah eksotis. “Karena ciri pantai yang memiliki kehidupan adalah yang memiliki ombak,” ungkap salah satu responden.

Nah, dari dua sumber inspirasi di atas—dialektika mistis dengan ombak dan jawaban simpel dari lima responden, maka aku pun menuliskan beberapa hal yang harusnya menjadi pelajaran dari ombak.

Pertama, ombak itu egois, seperti hidup yang juga berlaku egois.

Pengertian ombak menurut om wikipedia, dalam bidang oseanografi, ombak dikenal sebagai gelombang dalam (internal wave). Fenomena ombak juga ada dalam bidang meteorologi. Ombak diartikan sebagai gelombang menjalar pada lapisan antar muka antara udara yang hangat dan dingin. Dan banyak lagi bidang ilmu yang bisa mendefenisikan ombak secara memadai dan mendalam.

Dan singkatnya, aku berspekulasi dan menyatakan bahwa nyaris semua orang waras di dunia ini memiliki pengetahuan tentang apa itu ombak. Sederhananya, ombak adalah gelombang (gulungan air) yang datang dari tengah lautan ke tepi pantai. Dan satu hal yang menjadi kesamaan ombak dengan hidup adalah laku kekejamannya.

Perhatikanlah! Ombak selalu berlaku kejam, menabrak dan meruntuhkan karang. Menabrak dan menakuti manusia-manusia di pantai seakan hendak memangsanya hidup-hidup. Ombak tidak pernah tahu tawar-menawar, ia rela ambruk dengan lawannya. Lihatlah bagaimana ombak selalu rela ambruk-hancur ketika menghantam tanggul yang kokoh.

Kekejaman ini akan semakin menjadi-jadi ketika ombak ditonton oleh hujan yang tertawa deras menyuluti hasrat ombak. Pada kondisi seperti ini, hujan seolah berkata pada ombak: hanya seperti itukah garangnya wajahmu, ombak? Ombak menjadi semakin kejam, semakin meninggi, semakin bergemuruh. Dan pada saat seperti inilah ombak terkadang suka menggurui, seperti siang itu, ia mengguruiku tentang hidup. Darinya pulalah, aku tahu bahwa salah satu cara terbaik melumpuhkan ombak adalah dengan mengikuti arusnya.

Seperti kehidupan, ia terkadang melampaui kekejaman ombak. Lihatlah di sana, kehidupan membunuh manusia-manusia yang tak tahu arah ke mana kakinya akan melangkah. Menakut-nakuti manusia-manusia minder, melumpuhkan manusia-manusia lemah dan menantang manusia-manusia pemberani. Kehidupan berlaku layaknya ombak, terlampau egois.

Hingga, seperti ombak, hidup yang demikian hanya dapat dilumpuhkan dengan satu cara terbaik yakni mengikuti arus—mengikuti kekejamannya. Dengan mengikuti arah di mana kehidupan menghendaki jalannya sendiri. Karena sejatinya, arah dan derasnya ombak kehidupan hanya Tuhan dan dirinya sendiri yang tahu. Tahulah kita, bahwa keduanya—Tuhan dan ombak, nyaris identik dengan laku egoisnya.

Kedua, ombak di pantai tak ada habisnya, seperti kejamnya hidup tak ada habisnya.

Ombak selalu punya anak, selalu punya kelanjutan. Saat kehadirannya mencapai akhir ia akan hadir lagi, tak tahu akhir. Ketika satu ombak pertama hancur dan terselesaikan dengan mengerikan, ombak kedua dan selanjutnya meneruskan asa ombak-ombak sebelumnya meski berakhir dengan cara sama. Selalu berakhir di tepian, dan akhir itu menjadi tunas hadirnya ombak yang baru lagi.

Seperti pula derita dan lika-liku kehidupan, tiada habisnya. Ia kadang hadir dalam rupa indah kadang pula datang dalam rupa buruk. Tetapi rupa indah dan rupa buruk dari kehidupan sama saja. Segalanya tentang kekejaman, segalanya tentang permainan ego Tuhan.

Berkaitan dengan tak adanya akhir yang pasti bagi kejamnya ombak dan kehidupan mengingatkan aku pada seorang filsuf Jerman bernama Nietzsche. Ia menyatakan bahwa “segala sesuatu pergi, segala sesuatunya datang kembali, dan berputarlah roda hakikat itu secara abadi”. Menurut Nietzsche, sejarah berjalan seperti ombak. Berjalan seperti siklus-siklus besar, sehingga makna hidup hanya ada dalam kehidupan itu sendiri.

Yang ingin Nietzsche sampaikan kepada kita bahwa pilihan-pilihan bebas yang kita pilih dalam kehidupan kita, akan berulang kembali secara terus menerus. Maka dari itu, kita harus berhati-hati dalam menentukan pilihan dan bertindak. Karena masa depan kehidupan kita ditentukan sendiri oleh pilihan-pilihan tindakan kita sekarang. Dan siklus semacam ini adalah abadi, kata Nietzsche.

Ketiga: ombak itu candu, seperti kehidupan yang melenakan.

Secara naluriah, manusia membenci kekejaman. Tetapi dalam hal kejamnya ombak dan kehidupan, manusia menampilkan sebuah ironi. Dari segala bentuk kekejaman ombak yang mengerikan di atas, manusia malah mencintai dan menyukai ombak. Bahkan kebanyakan darinya—manusia, mengatakan bahwa pantai tanpa ombak adalah salah satu bentuk kematian.

Manusia semacam ini selalu memiliki hasrat tinggi untuk bermain-main dengan kekejaman. Dia menerima tantangan ombak dan bahkan melebihi hasrat ombak. Lihatlah! Bagaimana seonggok daging dengan angkuhnya melawan ombak dan berakhir pada kepasrahan dan kekalahan. Dia lumpuh pada ombak. Namun tak tahu diri, ia kembali lagi, berkali-kali menantang ombak dan berkali-kali pula lumpuh oleh ombak. Dan kembali lagi, karena ombak mampu menciptakan candu.

Seperti halnya dengan kehidupan. Manusia semacam ini, akan mencintai kehidupan sebagaimana cintanya kepada ombak. Membuatnya selalu ingin memiliki segalanya dalam kehidupan. Keinginan memiliki segalanya dalam kehidupan inilah yang merupakan sebuah tantangan terhadap pemilik kehidupan.

Padahal, kehidupan sejatinya hanyalah bentuk penyiksaan bagi manusia. Namun kesejatian makna hidup tersebut hanya dipahami oleh sebagian manusia yakni manusia dari kalangan pesuluk atau pejalan spiritual (manusia-manusia yang tingkatan spiritualnya telah melampaui batas rata-rata).

Dari ketiga poin di atas, mungkin pembaca mengatakan bahwa aku—dalam tulisan ini, terlalu pesimis memandang ombak, terlalu pesimis memandang kehidupan. Aku tidaklah sepenuhnya demikian, namun saja, aku hanya ingin menampilkan bahwa kehidupan ini hanya sebuah hal melenakan dan tidak perlu ambisi yang berlebihan untuk menaklukkannya. Tidak perlu ditaklukkan dalam arti memiliki segalanya. Namun yang kita butuhkan adalah memahami kesejatiannya sehingga kita mampu memberlakukannya sebagaimana adanya.

Yang paling penting yang ingin aku tampilkan dari wacana kekejaman ombak adalah: “kekejaman hidup adalah permainan ego Tuhan”. Dan permainan ego Tuhan tersebut, punyalah arti. Arti inilah yang mesti dicari. Karena dengan arti yang hakiki, kejamnya hidup bisa teranulir menjadi sebuah asupan gizi kebaikan dan semangat hidup. Tapi pertanyaan yang muncul kemudian adalah “bagaimana caranya kita menemukan arti dari kekejaman hidup? Bagaimana caranya agar kita dapat menemukan arti dari permainan ego Tuhan?”

Caranya adalah dengan menggunakan mata kearifan Tuhan yang dianugrahkan dalam diri kita masing-masing. Jikapun tidak mampu, maka setidaknya pergilah ke pasar kehidupan. Belilah kacamata kearifan di sana. Tapi ingat, kacamata kearifan sangatlah banyak merek, dan saya sarankan belilah kacamata kearifan yang bermerek philosophy, atau filsafat. Dan dengan kacamata itu, pandanglah hidupmu dengan lamat-lamat! Semoga dengan saran itu Anda dapat mengetahui hinanya hidup. Mengenali permainan ego Tuhan!

*Catatan kecil ketika berkunjung ke pantai Bira, 14 Januari 2018.

4 Hal yang Wajib Anda Persiapkan Sebelum Berkunjung ke Suku Kajang

4 Hal yang Wajib Anda Persiapkan Sebelum Berkunjung ke Suku Kajang

Adat Ammatoa Kajang
Gambar diambil dari Herzlich Wilkommen.

Besok, saya dan rekan-rekan di Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam khususnya program studi Filsafat Agama, akan berangkat ke Bulukumba untuk melakukan suatu penelitian tentang suku Kajang. Penelitian ini diinisiasi oleh kami atas dasar pemenuhan tugas final semester ganjil (semester tiga) pada mata kuliah Antropologi Agama. Nah, di tulisan ini, saya sekadar ingin berbagi unek-unek tentang: apa sih yang mesti dipersiapkan ketika hendak berkunjung ke daerah suku Kajang?

Pertama, pengetahuan tentang suku Kajang.

Secara teoritis, apapun yang akan kita lakukan akan sulit terlaksana dengan efisien jika kita tidak memiliki konsepsi atau pengetahuan tentang sesuatu yang akan kita lakukan tersebut. Oleh karena itu, persiapan yang paling pertama yang wajib kita persiapkan untuk berkunjung ke suku Kajang adalah pengetahuan tentang suku Kajang itu sendiri. Pengetahuan yang sifatnya a priori, terkecuali Anda memang sudah pernah menginjakkan kaki di sana maka pengetahuan Anda sifatnya a posteriori.

Suku Kajang adalah salah satu suku tradisional, yang terletak di kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Daerah suku Kajang ini terbagi menjadi dua bagian yakni Kajang Bagian Dalam dan Kajang Bagian Luar.

Daerah Kajang bagian dalam biasa juga disebut Kajang dalam atau ‘tau Kajang’. ‘Tau Kajang’ inilah yang bermukim dan hidup dalam nilai-nilai adat istiadat yang kental. Sedangkan daerah bagian luar disebut Kajang luar atau ‘tau lembang’ yakni orang-orang yang bermukim di sekitar suku murni Kajang. Orang-orang yang di daerah Kajang luar (tau lembang) hidup dengan sedikit lebih modern dibandingkan suku di daerah Kajang dalam (tau Kajang). Nah, yang akan saya dan teman-teman kunjungi adalah Kajang bagian dalam atau tau Kajang.

Sebagaimana dilansir dari ammatoa.com, bahwa secara geografis dan administratif, masyarakat adat Kajang terbagi atas Kajang Dalam dan Kajang Luar. Masyarakat adat Kajang Dalam tersebar di beberapa desa antara lain: Desa Tana Toa, Bonto Baji, Malleleng, Pattiroang, Batu Nilamung dan sebagian wilayah Desa Tambangan. Kawasan masyarakat adat Kajang Dalam secara keseluruhan berbatasan dengan Tuli di sebelah Utara, dengan Limba di sebelah Timur, dengan Seppa di sebelah Selatan, dan dengan Doro di sebelah Barat. Sedangkan Kajang Luar tersebar hampir seluruh kecamatan Kajang dan beberapa desa di wilayah Kecamatan Bulukumba, di antaranya Desa Jojolo, Desa Tibona, Desa Bonto Minasa dan Desa Batu Lohe (Aziz, 2008).

Pembagian inilah yang memetakkan corak masyarakat Kajang. Meskipun kedua pemetaan ini adalah semuanya suku Kajang, namun hanya masyarakat adat Kajang Dalam (tau kajang) yang berpegang teguh kepada adat Ammatoa. Adat Ammatoa inilah yang identik dengan anti-modernisasi.

Mereka mempraktikkan cara hidup sangat sederhana dengan menolak segala sesuatu yang berbau teknologi. Bagi mereka, benda-benda teknologi dapat membawa dampak negatif bagi kehidupan mereka, karena bersifat merusak kelestarian sumber daya alam. Komunitas yang selalu mengenakan pakaian serba hitam inilah yang kemudian disebut sebagai masyarakat adat Ammatoa (Widyasmoro, 2006).

Sebagaimana yang dinukilkan oleh Widyasmoro di atas, warna hitam dalam adat istiadat Ammatoa sangatlah dijunjung tinggi. Hitam bagi adat Ammatoa bermakna persamaan derajat dalam segala hal. Kesamaan dalam kesederhanaan. Sebab warna hitam adalah warna yang sederhana. Dan olehnya itu, dalam memasuki kawasan Kajang Dalam atau kawasan adat Ammatoa kita diwajibkan memakai pakaian berwarna hitam. Hitam sederhana. Sederhana dalam kesetaraan dan kesamaan dalam kesederhanaan.

Kedua, menyiapkan pakaian yang semuanya berwarna hitam.

Berdasarkan pengetahuan tentang ciri khas dan kepercayaan adat Ammatoa Kajang di atas, maka sudah sepantasnyalah kita mempersiapkan segala yang menjadi syarat agar diterima dengan baik di sana. Termasuk persoalan pakaian. Sehingga hal kedua yang wajib dipersiapkan adalah pakaian yang serba hitam. Saya belum mendapatkan referensi yang cukup kuat dan mendalam mengenai pakaian hitam ini. Apakah pakaian hitam yang dimaksud adalah pakaian hitam mulai dari topi hitam (jika kita pakai topi) sampai pada celana dalam berwarna hitam? Entah. Tetapi sebagaimana pepatah mengatakan “sedia payung sebelum hujan”, maka elok kiranya jika Anda juga mempersiapkan celana dalam berwarna hitam.

Ketiga, kesiapan untuk melepaskan ideologi modernitas.

Suku Kajang adalah salah satu suku tradisional yang sangat anti terhadap modernitas. Sehingga ada berbagai kepercayaan yang menjadi ciri khasnya bersifat sangat tradisional. Semisal, tidak boleh menggunakan sendal baik sendal Eiger maupun sendal jepit. Dalam hal sendal tidak ada pengecualian. Untung saja ini tidak berlaku dalam hal pakaian (baju). Anda bisa bayangkan bagaimana jika suku ini melarang pengunjungnya untuk memakai baju. Pasti lebih seru!

Bagi Anda yang tidak bisa hidup tanpa smartphone maka perlu kiranya untuk melepas niat berkunjung di sana. Sebab berdasarkan informasi dari beberapa mahasiswa yang pernah meneliti, bahwa segala bentuk smartphone atau alat yang fungsinya merekam baik audio maupun video ditolak di daerah masyarakat adat Ammatoa. Entah karena rasa takutnya masyarakat adat Ammatoa untuk dipublikasi ke khalayak lebih luas melalui smartphone tersebut atau ketakutan yang lain. Jika pun demikian bagaimana nasib stupidphone? Akankah stupidphone menuai nasib yang mujur, sehingga diperbolehkan bertandang ke daerah masyarakat Ammatoa? Ayo kita buktikan besok di lokasi.

Bagi Anda yang tidak terbiasa berjalan kaki jauh maka perlulah kiranya bersiaga dan berolahraga sebelumnya. Karena bukankah sebagaimana yang dijelaskan secara tersirat di atas bahwa di sana tidak ada mobil bus! Setidaknya berdoalah, semoga saja ada bus yang terbuat dari batang pisang sebagaimana kebiasaan anak desa menjadikan batang pisang sebagai transportasi ketika banjir di sungai datang, hehehe.

Keempat, mengetahui dan menjauhi hal-hal yang dapat menimbulkan petaka.

Perihal keempat yang wajib diketahui dan dipersiapkan adalah pengetahuan tentang hal-hal yang sifatnya sakral dan jika itu dilanggar maka menimbulkan masalah bagi Anda pengunjung kawasan adat Ammatoa. Perihal ini biasanya disebut sebagai mitos, meskipun saya pribadi masih skeptis untuk mengatakannya sebagai sebuah mitos. (Dalam tataran ilmu pengetahuan yang bersifat saintifik bolehlah kita berucap itu sebuah mitos, tetapi dalam lingkungannya sebagai kajian antropologi dan mistisisme mestilah kita berhati-hati).

Adapun hal-hal yang dimaksud di antaranya:

Pertama, menjaga etiket kemanusiaan dan kesetaraan. Karena dalam adat Ammatoa Kajang, jika terdapat orang luar yang masuk dalam wilayahnya tidak meminta izin lalu melakukan hal-hal yang tidak wajar maka ia akan dikenakan sihir. Biasanya dalam bahasa Bugis-Makassar disebut Doti. Sihir tersebut—doti, dapat berakhir pada kematian. Sehingga untuk mewaspadai hal ini, perlulah kiranya (bagi Anda yang akan berkunjung) berkonsultasi sebelumnya kepada pembimbing Anda yang menemani Anda berkunjung. Berkonsultasilah mengenai apa yang boleh Anda lakukan dan tidak boleh Anda lakukan di sana.

Kedua, perihal ini ditujukan bagi Anda yang istimewa, bagi Anda yang akan tinggal menetap di sana. Jikapun esok hari, setelah tiba di sana dan tidak ingin pulang (inginnya tinggal di Kajang) maka perlulah menerima pesan ini. Yakni: jangan pernah membuat rumah dengan bahan baku batu bata. Sebab dalam adat Ammatoa, pantang bagi seorang manusia diapit oleh tanah. Baginya, hanya orang matilah yang pantas untuk diapit oleh tanah. Dan konklusinya, rumah yang berbahan batu bata (berbahan tanah) adalah rumah bagi orang mati.


Itulah 4 hal yang wajib Anda ketahui dan yang perlu Anda persiapkan sebelum berkunjung ke daerah adat Ammatoa Kajang.

Sebagai kesimpulan: suku Ammatoa Kajang adalah suku lokal yang sangat memegang teguh ritual dan kehidupan adatnya dari nenek moyang hingga masa kini. Suku Kajang berdasarkan informasi yang saya dapat adalah suku yang sangat tidak bisa menerima perubahan atau modernitas meskipun dalam bentuk kecil. Karena perubahan yang sifatnya berbeda dengan apa yang diajarkan oleh leluhurnya dianggap melanggar hukum adat leluhur.

Inilah suku yang unik, penuh dengan kesederhanaan, manusiawi, dan tentunya alami karena bentuk atau nilai dari adat istiadatnya yang menjunjung tinggi alam semesta. Dan kelebihan-kelebihan itulah yang menjadikan suku Kajang sebagai salah satu destinasi wisata kebudayaan yang banyak dikunjungi di antara banyak kebudayaan yang ada di Sulawesi Selatan. Meskipun masih banyak berhamburan ketakutan-ketakutan orang luar ketika mendengar informasi tentang kearifan lokal suku Kajang, di antaranya ketakutan pada doti. Meskipun saya penasaran apakah masyarakat adat suku Kajang suka makan roti. Semoga pada kunjungan esok hari ke tanah adat suku Kajang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dan memuaskan hati dan pikiran.

*Informasi yang terdapat dari tulisan ini berasal dari beberapa sumber di antaranya buku, artikel internet, dan jawaban dari beberapa mahasiswa yang penulis wawancarai tentang keunikan suku Ammatoa Kajang.