“Tuhan telah mati” ungkap Friedrich Nietzsche. Dan beberapa tahun setelah mengungkapkan kalimat itu, dirinya mengalami kegilaan, lalu mati. Mungkinkah saat itu Tuhan kembali hidup dan mengambil nyawa Nietzsche setelah berani mengatakan ‘Tuhan telah mati’? Entahlah. Tuhan memang selalu tahu cara bertahan hidup.
***
Kemarin, Stephen Hawking menemui ajalnya. Dunia sains turut berkabung atas kepergian sosok Hawking. Kematian Hawking, sebagai manusia ateis, sebagai manusia genius, mengindikasikan bahwa bagaimana pun canggihnya, bagaimana pun geniusnya, sains tidak akan mungkin secara total mengusir Tuhan dalam kehidupan manusia.
Sains tidak mungkin mengambil alih peran Tuhan dalam kehidupan, karena para saintis, karena para ateis, akan kembali kepada Tuhan. Setidaknya itu keyakinan saya sebagai orang yang bertuhan. (Keyakinan semacam ini akan jadi mitos jika di masa depan para saintis menemukan bahwa ada cara mengabadikan hidup manusia.)
Seperti para saintis-ateis lainnya, Hawking yakin bahwa adalah sebuah keharusan pada sains untuk tidak mengurusi Tuhan. Sains haruslah menjawab segala ketidaktahuan yang menjadi ruang-ruang bagi Tuhan untuk berkembang biak dan melangsungkan kehidupan.
Sebagaimana fakta bahwa malam dan siang semula diyakini sebagai muasal Tuhan, setelahnya sains datang menghapus keyakinan itu. Berbagai jenis penyakit yang dialami manusia juga awalnya disabdakan sebagai muasalnya dari Tuhan, namun setelah itu, sains datang menumpas dan mengusir keberadaaan Tuhan. Sains modern mengikutsertakan ateisme.
Pikiran-pikiran semacam ini dapat ditemukan secara implisit dalam buku Hawking yang berjudul A Brief History of Time. Dan bisa dikata, salah satu warisan Hawking yang tak kalah pentingnya adalah buku tersebut. Buku yang memberikan perspektif baru tentang dunia, tentang kehidupan, tentang agama.
Pertanyaannya, mungkinkah kematian Stephen bukan atas kehendak Tuhan?
***
Baik Nietzsche maupun Hawking, saya percaya, mereka mati karena kehendak Tuhan meski mereka tidak menyakininya. Tapi, masihkah Tuhan tetap akan ada jikalau semua manusia kehilangan keyakinan kepada-Nya? Entahlah, tapi setidaknya: saya yakin bahwa semua orang termasuk orang ateis akan kembali pada Tuhan.
Malam itu hujan—sebut saja malam yang menyedihkan bagi semut sekaligus menyenangkan bagi bunga di taman rumah—ketika saya mengikuti materi kepenulisan Etnografi di Kelas Kepo Sesaat yang dibawakan oleh Nurhady Sirimorok. Materi ini merupakan materi ketiga (di pertemuan ketiga pula), setelah materi Fiksi dan Reportase. Bagi teman-teman yang ingin membaca rangkuman materi pertama tentang kepenulisan Fiksi, silakan kunjungi tulisan kawan saya yang juga nimbrung dalam kelas Kepo Sesaat tersebut. [linknya di sini].
Etnografi secara etimologi berasal dari bahasa Yunani, ethnos dan graphia. Kata ethnos berarti rakyat (budaya masyarakat) sedangkan graphia berarti tulisan atau alat untuk mendeskripsikan (menggambarkan). Dari pengertian etimologi tersebut, dapat disimpulkan bahwa tulisan etnografi berkisah tentang segala hal yang diciptakan oleh manusia untuk hidup dan kehidupannya. Sehingga dari pengertian itu pulalah muncul pernyataan Nurhady Sirimorok bahwa “sarang semut bukan objek kajian dari etnografi”. Sebab, jenis dan identitas sarang semut tidak masuk dalam ranah mahluk yang bernama manusia.
Etnografi, selain banyak digunakan dalam kajian antropologi, juga banyak digunakan dalam kajian-kajian ilmu sosial. Seperti sosiologi, psikologi, dan cabang ilmu sosial lainnya. Dalam sebuah masyarakat, terdapat banyak aspek kebudayaan. Mulai dari aspek ekonomi, sosial, bahasa, seni, pendidikan, agama, sampai pada teknologi. Dari berbagai aspek ini, tulisan etnografi hadir untuk menjelaskan kesemua aspeknya. Tetapi, menurut Nurhady Sirimorok sebagaimana yang ditampilkan dalam slide materinya bahwa tujuan dari tulisan etnografi adalah untuk mendeskripsikan dan menjelaskan satu aspek atau segmen kehidupan sosial sebuah kelompok.
Hal ini menandakan bahwa sebuah tulisan etnografi yang baik hanya berisi satu aspek atau satu segmen yang menjadi fokus penelitiannya. Tentu dengan fokus yang lebih spesifik akan menghasilkan penelitian yang lebih mendalam pula. Namun saja, masih sebuah kewajaran jika di awal penelitian etnografi, hipotesa dan pertanyaan kita tentang objek penelitian masih sifatnya lebih luas. Sebab, kata Nurhady Sirimorok, hipotesa dan pertanyaan memang bermula sebagai pernyataan luas dan kemudian menjadi semakin sempit.
Dalam penelitian etnografi juga dikenal istilah data. Data ini berupa deskripsi verbal mengenai masyarakat, interaksi sosial, setting, benda, dan fenomena-fenomena dalam konteks masyarakat yang diteliti. Ketika menjelaskan pembahasan tentang data, Nurhady Sirimorok mendapatkan pertanyaan dari salah satu peserta, bahwa jika dalam penelitian etnografi juga membahas tentang data berupa benda dan simbol maka apa perlu kita juga harus menguasai ilmu tentang semiotika, hermeneutika, dan cabang ilmu yang lain yang dapat menjelaskan lebih spesifik tentang benda dan simbol tersebut?
Menurut Nurhady Sirimorok atau biasa di panggil kak Dandy, bahwa untuk melakukan penelitian etnografi, kita tidak mesti menguasai cabang ilmu yang disebutkan tadi. Sebab dalam proses penelitian, selama kita ikut andil dalam objek penelitian kita, maka pemaknaan-pemaknaan benda atau hal-hal yang bersifat simbolik dalam objek penelitian, akan kita dapatkan dari objek penelitian itu sendiri (pemaknaan masyarakat yang kita teliti terhadap benda atau simbol tersebut). Hal ini menandakan bahwa memang etnografi dalam hal ini si peneliti, tidak untuk memberikan penilaian dan pemaknaannya sendiri terhadap objek penelitiannya, tetapi untuk menampilkan penilaian atau pemaknaan masyarakat itu sendiri sebagai objek penelitiannya. Dengan kata lain, peneliti haruslah objektif.
Jika ditarik ke arah kajian filsafat, hal ini senada dengan pendekatan dialektika fenomenologi. Dalam pendekatan ini, seorang pemikir atau peneliti haruslah mendahulukan ontologi atas epistemologi. Dalam artian, peneliti diarahkan untuk memahami fenomena masyarakat sebagai adanya. Fokus pikiran dan kontemplasi harus mengarah kepada objek yang diteliti yaitu masyarakat sebagai fenomena, bukan pada asumsi-asumsi, bukan pada perangkat-perangkat dogmatis metafisik, bukan pula pada asumsi politik, ideologi, ataupun teologis.
Hal ini juga senada dengan ungkapan Eko Rusdianto dalam materi kedua, Reportase, bahwa seorang reporter haruslah bebas nilai. Dalam artian, reporter dalam melakukan reportase haruslah melepaskan persepsi pribadinya. Semisal, jika kita selaku reporter hanya tertarik pada lawan jenis (bukan transgender) dan melakukan reportase tentang manusia transgender (LGBT), maka persepsi kita selaku manusia normal haruslah dilepaskan. Contoh persepsi yang bersifat subjektif: LGBT itu kurang baik, atau persepsi yang sifatnya teologis: pelacur itu masuk neraka dan khamar itu haram. Persepsi-persepsi semacam inilah yang harus dilepaskan oleh seorang reporter maupun peneliti ilmu sosial.
Dari beberapa penekanan terhadap perlunya sikap objektifitas di atas, sebuah komentar dari Nurhady Sirimorok malah sedikit terdengar skeptis tetapi tetap optimis, bahwa meskipun demikian (kita harus objektif) tetapi kita juga harus mengakui bahwa secara konsepsi tidak ada objektivitas. Dalam artian, kita memahami realitas masyarakat sebagaimana persepsi kita akan realitas masyarakat itu. Kita yang memandang dan memahami suatu objek pastilah terdapat perbedaan terhadap pandangan dan pemahaman orang lain terhadap objek yang sama tersebut.
Pernyataan Nurhady Sirimorok tersebut mengafirmasi pemikiran filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche, bahwa tidak ada sebuah dunia objektif. Ketika kita menggunakan istilah-istilah seperti “Tuhan”, “baik” atau “buruk”, “keadilan”, kita berusaha merujuk pada “Tuhan” aktual, “keadilan” aktual, dan sebagainya. Dalam artian, kita menggunakan istilah-istilah tersebut sebagai postulat bahwa istilah-istilah tersebut sesuai dengan kenyataan. Padahal, menurut Nietzsche, tidak ada kenyataaan yang sesuai dengan istilah-istilah tersebut, yang ada hanyalah “persepsi” kita. “Tuhan”, “Islam” dan sebagainya hanya sebatas persepsi, bukan sebuah kenyataan sebagaimana adanya (objektivitas). Tetapi saya pribadi tetap optimis, sebagaimana optimisnya Immanuelt Kant dalam menelanjangi subjektifisme dan menggapai objektivitas. Dan dalam diskursus ini, saya, kamu, dia, dan kita semua boleh memilih beriman kepada siapa—Nietzsche atau Kant.
Kok pembahasannya sampai di sana? Ok, i’m sorry! Kita lanjut. Dalam penelitian etnografi, terdapat beberapa sumber data. Di antaranya: masyarakat, interaksi sosial, setting, dan benda-benda yang relevan. Pengumpulan data dari sumber-sumber data tersebut dilakukan dengan cara mengamati, terlibat langsung, dan kadang-kadang dikombinasikan dengan wawancara. Data-data yang diperoleh kemudian disajikan dalam bentuk deskripsi dan dianalisis secara logis sehingga ditemukan pola dan tema-tema yang penting.
Gambar ini dipotret pada pertemuan kedua.
Adapun pembahasan selanjutnya adalah “proses” yang harus dilalui dalam penelitian etnografi. Ringkasannya sebagai berikut:
Pertama, identifikasi satu pertanyaan atau tema untuk dikaji.
Proses pertama yang harus dilalui untuk melakukan penelitian etnografi adalah dengan mengidentifikasi satu pertanyaan atau tema yang kemudian menjadi fokus penelitian. Sebagaimana yang dijelaskan di atas bahwa dalam penelitian etnografi, idealnya membahas satu aspek atau satu segmen dalam kebudayaan masyarakat. Dan sekali lagi, hal ini juga memberikan peluang yang besar akan kedalaman sebuah penelitian.
Kedua, identifikasi ruang atau kelompok.
Dalam penelitian etnografi, cakupan ruang penelitian biasanya meliputi kelompok yang lebih kecil dan bahkan lebih kecil. Identifikasi kelompok atau ruang penelitian ini biasanya dipilih atas dasar maksud tertentu yang juga tentunya masuk dalam tema dan fokus penelitian. Dalam poin pembahasan ini, Nurhady Sirimorok menegaskan bahwa ketika kita melakukan penelitian dalam sebuah kelompok masyarakat tertentu maka perlu adanya sebuah izin. Entah itu izin secara lisan maupun tulisan.
Lebih lanjut, ia juga membeberkan beberapa poin mengenai etika etnografi. Di antaranya tentang nama dan tempat. Bahwa dalam catatan etnografi, etis kiranya jika objek penelitian yang berkaitan tentang nama pelaku dan tempat spesifik itu dirahasiakan. Terkecuali jika terdapat izin dari pemilik nama selaku sumber data penelitian. Selain atas dasar etika etnografi, perahasiaan itu menjadi perlu, karena sesarinya dalam catatan etnografi, yang paling penting bukanlah nama pelakunya namun polanya. Pola ini mencakup pertanyaan inti penelitian dan jawabannya. Atau sebut saja premis yang kemudian disertai dengan konklusi.
Ketiga, mengamati kelompok masyarakat.
Setelah mengidentifikasi pertanyaan atau tema yang hendak diteliti dan kelompok masyarakat tempat penelitian itu berlangsung, maka selanjutnya peneliti mengamati kelompok masyarakat. Dalam etnografi, jenis peneliti dalam melakukan pengamatannya terhadap masyarakat atau objek penelitiannya dibagi menjadi dua, yakni Privileged Observer dan Participant Observer. Privileged Observer yakni jenis peneliti yang hanya mengamati objek yang ditelitinya. Sedangkan Participant Observer yakni jenis peneliti yang berperan sebagai bagian dari objek yang ditelitinya. Dalam artian ini, Participant Observer mencoba memahami objek penelitiannya melalui pengamatan yang lebih dekat yakni mengalaminya sendiri.
Dalam tahapan ini, peneliti melihat dan mendengar secara teliti dan mencatat sebanyak mungkin detail yang ditangkapnya. Baik makna yang ditangkap secara eksplisit maupun implisit. Biasanya, dalam tahapan ini, peneliti akan menghasilkan catatan lapangan yang cukup banyak tentunya dalam waktu yang juga cukup lama. Waktu yang disebutkan oleh Nurhady Sirimorok berkisar antara satu minggu sampai bertahun-tahun.
Pada bagian pembahasan ketiga ini, muncul dua pertanyaan dari peserta kelas (saya lupa siapa yang bertanya, yang pasti menurut ingatan saya ada yang bertanya). Pertama, bagaimana jika dalam proses penelitian, kita mengalami pergeseran paradigma. Atau dalam artian, awalnya kita memiliki konsepsi seperti ‘ini’ misalnya, tetapi lambat laun konsepsi kita yang ‘ini‘ berubah sejalan dengan semakin mendalamnya penelitian kita dan kita merasa berbeda, bukankah itu sebuah persepsi yang akan membuat penelitian kita tidak objektif?
Nurhady Sirimorok menjawab pertanyaan itu dengan tegas bahwa dalam penelitian etnografi harus dilakukan dengan waktu yang lebih lama. Problem yang ditampilkan dari pertanyaan tersebut akan muncul sebagai sebuah indikasi ke-tidakmendalam-nya penelitian, maka diperlukan waktu lebih lama agar penelitian itu semakin mendalam. Sehingga saya menawarkan argumen persuasif yang tepat bagi Anda yang ingin melakukan penelitian etnografi: “Tinggal dan hiduplah selama mungkin dalam kehidupan yang Anda teliti!” Tetapi menurut Nurhady, fenomena tentang munculnya perbedaan persepsi pribadi dengan objek yang diteliti adalah sebuah kewajaran. Dan yang terpenting adalah bagaimana kita menyadari itu, lalu kemudian menuliskannya. Semisal, kita menuliskannya bahwa menurut saya seperti “ini”, dan menurut mereka (objek yang diteliti) seperti “itu”. Model seperti ini disebut dengan reflektivitas dalam catatan etnografi, kata Nurhady.
Pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah apa indikator yang digunakan untuk finalisasi data atau informasi yang kita dapatkan dalam penelitian etnografi? Dengan singkat, Nurhady Sirimorok menjawab bahwa informasi yang kita temukan, dapat difinalkan sebagai sebuah kebenaran ketika informasi itu “telah jenuh”. Dalam artian, semua responden telah memberikan informasi yang sama. Jikapun informasi yang dimaksud sifatnya praktik dan non-verbal misalnya, kita menyaksikan langsung kelakuan dan kebiasaan suatu masyarakat, maka setidaknya informasi tentang hal tersebut dapat difinalkan kebenarannya setelah kita menyaksikannya dengan berkali-kali (atau mungkin cukup sekali jika demikian membuat Anda yakin).
Keempat, menganalisis data.
Pada tahapan ini, peneliti mulai menganalisis catatan-catatannya, lalu dari catatan-catatan itu kemudian dapat diidentifikasi tema fokus penelitian sebagaimana yang telah ditetapkan sebelumnya. Pada tahapan ini pula, peneliti mencari jawaban atas pertanyaan penelitian yang juga telah ditetapkan sebelumnya dan setelah itu, membuat kesimpulan logis dari analisis data yang didapatkannya.
Kelima, langkah terakhir.
Langkah terakhir dari sebuah proses penelitian etnografi adalah peneliti menulis laporan penelitian yang menggambarkan proses penelitiannya, hasil pengamatan dan temuannya, serta kesimpulan logis dari penelitian yang telah peneliti lakukan. Setelah langkah terakhir tersebut, selesai pulalah “proses” yang harus dilalui dalam penelitian etnografi.
Setelah penjelasan tentang proses harus dilalui dalam penelitian etnografi, ada beberapa pertanyaan yang muncul dan ditanyakan peserta kepada pemateri, Nurhady Sirimorok, akan tetapi saya tidak sempat mencatatnya. Jadi cukuplah sekian.
Bagi teman-teman yang ikut di Kelas Kepo Sesaat dan membaca tulisan ini, bisa menambahkan komentar berupa saran atau koreksinya, dan juga yang terpenting, jika ada pengetahuan tercecer, yang tidak sempat diikat di tulisan ini tentang penjelasan “Menulis Etnografi” yang dibawakan Nurhady Sirimorok, silakan ditambahkan di kolom komentar.
Sampai jumpa di pertemuan selanjutnya. Salam Kepo!
Sepulang dari penelitian di Suku Kajang (Tana Toa, Ammatoa), aku dan teman-teman menyempatkan diri menikmati panorama di Pantai Tanjung Bira, Bulukumba. Pantai yang hembusan anginnya, rintikan hujannya, dan gemuruh ombaknya mampu menyulut hasratku sehingga menyeburkan diri dan berpadu pada keindahan kasatnya.
Sekitar 50 meter dari bibir pantai—ditandai oleh hamparan pasir putih, aku ditendang ombak dan terjatuh. Aku bukan batu karang, tak bisa bertahan di tengah derau dan halau ombak yang mematikan. Asaku untuk bisa berenang jauh ke laut bebas dan melupakan pantai urung kulanjutkan. Bagaimana tidak, ombak terlalu kejam untuk dilawan.
Akupun menepi, mencari sepi di tengah hiruk keramaian pantai. Mencoba menerka dan merenung kata-kata ombak yang terdengar lirih di telingaku. Kuambil ponsel di saku celanaku, kupakai mencatat apapun yang ombak katakan padaku. Ombak seperti guru, menasihatiku. Dan akhirnya, apapun yang kutulis di sini adalah sabdanya.
“Aku tahu, aku memang terlalu kejam untukmu. Semua itu kulakukan agar engkau tahu bahwa kehidupan tidak selamanya berdamai denganmu. Ketahuilah, bahwa aku adalah manifestasi dari kehidupan yang kau jalani,” teriak ombak itu padaku.
Pernahkah Anda ke pantai? Apa yang Anda butuhkan sehingga berkunjung pantai? Bukankah ombak itu kejam dan berbahaya? Mengapa demikian? Tapi, apakah pantai akan tetap menarik jika hampa akan akan deru ombak? Lantas apa yang menarik dari ombak di pantai?
Dari lima orang responden, 75% jawaban dari pertanyaan di atas disimpulkan bahwa ‘ombak adalah hal yang paling mereka sukai di pantai’. Bagi mereka pantai yang tidak memiliki ombak yang menggelora tidaklah eksotis. “Karena ciri pantai yang memiliki kehidupan adalah yang memiliki ombak,” ungkap salah satu responden.
Nah, dari dua sumber inspirasi di atas—dialektika mistis dengan ombak dan jawaban simpel dari lima responden, maka aku pun menuliskan beberapa hal yang harusnya menjadi pelajaran dari ombak.
Pertama, ombak itu egois, seperti hidup yang juga berlaku egois.
Pengertian ombak menurut om wikipedia, dalam bidang oseanografi, ombak dikenal sebagai gelombang dalam (internal wave). Fenomena ombak juga ada dalam bidang meteorologi. Ombak diartikan sebagai gelombang menjalar pada lapisan antar muka antara udara yang hangat dan dingin. Dan banyak lagi bidang ilmu yang bisa mendefenisikan ombak secara memadai dan mendalam.
Dan singkatnya, aku berspekulasi dan menyatakan bahwa nyaris semua orang waras di dunia ini memiliki pengetahuan tentang apa itu ombak. Sederhananya, ombak adalah gelombang (gulungan air) yang datang dari tengah lautan ke tepi pantai. Dan satu hal yang menjadi kesamaan ombak dengan hidup adalah laku kekejamannya.
Perhatikanlah! Ombak selalu berlaku kejam, menabrak dan meruntuhkan karang. Menabrak dan menakuti manusia-manusia di pantai seakan hendak memangsanya hidup-hidup. Ombak tidak pernah tahu tawar-menawar, ia rela ambruk dengan lawannya. Lihatlah bagaimana ombak selalu rela ambruk-hancur ketika menghantam tanggul yang kokoh.
Kekejaman ini akan semakin menjadi-jadi ketika ombak ditonton oleh hujan yang tertawa deras menyuluti hasrat ombak. Pada kondisi seperti ini, hujan seolah berkata pada ombak: hanya seperti itukah garangnya wajahmu, ombak? Ombak menjadi semakin kejam, semakin meninggi, semakin bergemuruh. Dan pada saat seperti inilah ombak terkadang suka menggurui, seperti siang itu, ia mengguruiku tentang hidup. Darinya pulalah, aku tahu bahwa salah satu cara terbaik melumpuhkan ombak adalah dengan mengikuti arusnya.
Seperti kehidupan, ia terkadang melampaui kekejaman ombak. Lihatlah di sana, kehidupan membunuh manusia-manusia yang tak tahu arah ke mana kakinya akan melangkah. Menakut-nakuti manusia-manusia minder, melumpuhkan manusia-manusia lemah dan menantang manusia-manusia pemberani. Kehidupan berlaku layaknya ombak, terlampau egois.
Hingga, seperti ombak, hidup yang demikian hanya dapat dilumpuhkan dengan satu cara terbaik yakni mengikuti arus—mengikuti kekejamannya. Dengan mengikuti arah di mana kehidupan menghendaki jalannya sendiri. Karena sejatinya, arah dan derasnya ombak kehidupan hanya Tuhan dan dirinya sendiri yang tahu. Tahulah kita, bahwa keduanya—Tuhan dan ombak, nyaris identik dengan laku egoisnya.
Kedua, ombak di pantai tak ada habisnya, seperti kejamnya hidup tak ada habisnya.
Ombak selalu punya anak, selalu punya kelanjutan. Saat kehadirannya mencapai akhir ia akan hadir lagi, tak tahu akhir. Ketika satu ombak pertama hancur dan terselesaikan dengan mengerikan, ombak kedua dan selanjutnya meneruskan asa ombak-ombak sebelumnya meski berakhir dengan cara sama. Selalu berakhir di tepian, dan akhir itu menjadi tunas hadirnya ombak yang baru lagi.
Seperti pula derita dan lika-liku kehidupan, tiada habisnya. Ia kadang hadir dalam rupa indah kadang pula datang dalam rupa buruk. Tetapi rupa indah dan rupa buruk dari kehidupan sama saja. Segalanya tentang kekejaman, segalanya tentang permainan ego Tuhan.
Berkaitan dengan tak adanya akhir yang pasti bagi kejamnya ombak dan kehidupan mengingatkan aku pada seorang filsuf Jerman bernama Nietzsche. Ia menyatakan bahwa “segala sesuatu pergi, segala sesuatunya datang kembali, dan berputarlah roda hakikat itu secara abadi”. Menurut Nietzsche, sejarah berjalan seperti ombak. Berjalan seperti siklus-siklus besar, sehingga makna hidup hanya ada dalam kehidupan itu sendiri.
Yang ingin Nietzsche sampaikan kepada kita bahwa pilihan-pilihan bebas yang kita pilih dalam kehidupan kita, akan berulang kembali secara terus menerus. Maka dari itu, kita harus berhati-hati dalam menentukan pilihan dan bertindak. Karena masa depan kehidupan kita ditentukan sendiri oleh pilihan-pilihan tindakan kita sekarang. Dan siklus semacam ini adalah abadi, kata Nietzsche.
Ketiga: ombak itu candu, seperti kehidupan yang melenakan.
Secara naluriah, manusia membenci kekejaman. Tetapi dalam hal kejamnya ombak dan kehidupan, manusia menampilkan sebuah ironi. Dari segala bentuk kekejaman ombak yang mengerikan di atas, manusia malah mencintai dan menyukai ombak. Bahkan kebanyakan darinya—manusia, mengatakan bahwa pantai tanpa ombak adalah salah satu bentuk kematian.
Manusia semacam ini selalu memiliki hasrat tinggi untuk bermain-main dengan kekejaman. Dia menerima tantangan ombak dan bahkan melebihi hasrat ombak. Lihatlah! Bagaimana seonggok daging dengan angkuhnya melawan ombak dan berakhir pada kepasrahan dan kekalahan. Dia lumpuh pada ombak. Namun tak tahu diri, ia kembali lagi, berkali-kali menantang ombak dan berkali-kali pula lumpuh oleh ombak. Dan kembali lagi, karena ombak mampu menciptakan candu.
Seperti halnya dengan kehidupan. Manusia semacam ini, akan mencintai kehidupan sebagaimana cintanya kepada ombak. Membuatnya selalu ingin memiliki segalanya dalam kehidupan. Keinginan memiliki segalanya dalam kehidupan inilah yang merupakan sebuah tantangan terhadap pemilik kehidupan.
Padahal, kehidupan sejatinya hanyalah bentuk penyiksaan bagi manusia. Namun kesejatian makna hidup tersebut hanya dipahami oleh sebagian manusia yakni manusia dari kalangan pesuluk atau pejalan spiritual (manusia-manusia yang tingkatan spiritualnya telah melampaui batas rata-rata).
Dari ketiga poin di atas, mungkin pembaca mengatakan bahwa aku—dalam tulisan ini, terlalu pesimis memandang ombak, terlalu pesimis memandang kehidupan. Aku tidaklah sepenuhnya demikian, namun saja, aku hanya ingin menampilkan bahwa kehidupan ini hanya sebuah hal melenakan dan tidak perlu ambisi yang berlebihan untuk menaklukkannya. Tidak perlu ditaklukkan dalam arti memiliki segalanya. Namun yang kita butuhkan adalah memahami kesejatiannya sehingga kita mampu memberlakukannya sebagaimana adanya.
Yang paling penting yang ingin aku tampilkan dari wacana kekejaman ombak adalah: “kekejaman hidup adalah permainan ego Tuhan”. Dan permainan ego Tuhan tersebut, punyalah arti. Arti inilah yang mesti dicari. Karena dengan arti yang hakiki, kejamnya hidup bisa teranulir menjadi sebuah asupan gizi kebaikan dan semangat hidup. Tapi pertanyaan yang muncul kemudian adalah “bagaimana caranya kita menemukan arti dari kekejaman hidup? Bagaimana caranya agar kita dapat menemukan arti dari permainan ego Tuhan?”
Caranya adalah dengan menggunakan mata kearifan Tuhan yang dianugrahkan dalam diri kita masing-masing. Jikapun tidak mampu, maka setidaknya pergilah ke pasar kehidupan. Belilah kacamata kearifan di sana. Tapi ingat, kacamata kearifan sangatlah banyak merek, dan saya sarankan belilah kacamata kearifan yang bermerek philosophy, atau filsafat.Dan dengan kacamata itu, pandanglah hidupmu dengan lamat-lamat! Semoga dengan saran itu Anda dapat mengetahui hinanya hidup. Mengenali permainan ego Tuhan!
*Catatan kecil ketika berkunjung ke pantai Bira, 14 Januari 2018.