Dialektika “Om Telolet Om” dan “Om Tolong Om”

Dialektika “Om Telolet Om” dan “Om Tolong Om”

Dialektika “Om Telolet Om” dan “Om Tolong Om”

Andi Alfian
Photo by CHUTTERSNAP on Unsplash

Wahai zat pemilik segalanya, izinkanlah aku menorehkan pena ini di atas lembaran–lembaran kertas kusut tak layak pakai, yang seolah berasal dari tumpukan sampah yang kembali aku gunakan untuk menuliskan tinta–tinta suci dari hati ini. Perasaan yang mungkin terungkapkan ini adalah merupakan jelmaan akan nilai–nilai kesadaran dan kepedulianku terhadapmu, saudaraku.

Wahai saudaraku, aku hanya ingin mengungkapkan beberapa fenomena yang mungkin akan membuka mata, membuka hati, atau mungkin saja coretan tinta ini akan menjadi bacaan yang terabaikan bahkan saja akan menghasilkan lembaran semu yang tak lagi bermakna bagi khalayak.

Sebelum  aku menulis, aku dengar alunan kabar yang mengusik nada–nada klasik di malam ini dan aku baca berita yang membuat naluri dan perasaanku melayang entah ke mana. Kabar dan berita itu adalah pembunuhan dan pemusnahan saudaraku di Aleppo yang terdengar bisikan anak berkata “Om Tolong Om”.

Sebelum  aku menulis, aku dengar alunan kabar yang menggelitik naluri dalam dada membuat nada–nada malam menjadi gemuruh dengan canda tawa. Kabar dan berita itu adalah romansa dan viralnya klakson bus yang berbunyi “Om Telolet Om”. 

Om Telolot Om. Kini negeri ini ramai pemberitaan akan fenomena biasa yang tak punya arti bagi mereka para elit. Fenomena ini bukan hanya merayap di negeri namun kini telah mendunia dalam sekejap. Media kini dipenuhi dengan sesuatu yang mungkin hanyalah lelucon dan menyembunyikan problem yang urgen untuk di publikasi.

Aku buka Youtube yang terpopuler adalah video romantika “Om Telolet Om” yang mungkin itulah ekspresi saudaraku sendiri. Aku buka Facebook, Instagram, Line, dan sosial media lainnya kini saudaraku bercanda tawa dengan fenomena ini. Di lain hal ada yang mereka lupa.

Om Tolong Om. Fenomena ini muncul dengan aroma sepi di dinding massa, dunia dan HAM seolah-olah bungkam akan teriakan ini. “Om Tolong Om”, betapa begisnya engkau yang mengabaikan bisikan anak ini. Aku buka Youtube terdapat video ini namun ironisnya selalu diabaikan. Aku buka Facebook, Line, Instagram, dan sosial media lainnya, di sana terdapat hamparan berita ini bagaikan bintang–bintang di langit gelap meneteskan air mata kesedihannya.

Namun apa daya saudaraku mengabaikan komentar, hanya memberikan like, dan bahkan hanya memberikan tatapan lihai pada artikel berita fenomena yang penuh darah dan air mata ini.  Itulah teriakan “Om Tolong Om” yang berasal dari saudara kita Islam Aleppo.

Kota tempat mereka dilahirkan, tempat mereka mendulang kebahagiaan dunia kini di serang dan hendak diratakan. Para lelaki perkasa ditangkap dan dihukum mati dengan kebegisan rezim penjajah lalu wanita–wanita kemudian menjadi bahan pengungkapan kepuasan bagi penguasa dan penjajah laknat.

Aku tahu bahwa duka nestapa yang mereka rasa adalah dialektika hak dan batil. Namun di lain hal aku bercumbu dengan pertanyaan manis yang kadang membuatku geli akan kepahitannya. Entahlah. Mengapa saudaraku di Indonesia tertawa bahagia di kala saudaraku yang lain di Aleppo berduka dan menangis? Inilah pertanyaan semu dariku.

Mungkin, saudaraku sedang sibuk dengan panggung sandirawanya, tampil dengan kekinian mengikuti tren zaman yang hanyalah sebuah lelucon. Itulah “Om Telolet Om”, katamu. Namun lidahku tak mampu berucap seperti katamu saudaraku. Bersandiwara dengan tren itu bukan sebuah masalah buatku, akan aku persilakan dirimu berekspresi akan seseuatu yang tren dan viral namun aku hanya ingin engkau tahu bahwa jangan pernah kesadaranmu bungkam di kala ekspresi akan kekinian itu memuncak di kronologi kehidupanmu. Jauhilah egoisme dan hedonisme dalam dirimu yang akan membuatmu bungkam akan fenomena ini.

Kudoakan semoga aku, kamu, dia, dan kita semua sama-sama semakin peduli pada penderitaan saudara kita di luar. Agar kita makin kekinian dan Aleppo juga makin kekinian ayo teriak “Om Tolong Om” dengan harapan uluran pertolongan dari saudara kita. Kebahagiaan akan terasa jika kita akhirnya bisa berangkulan dan saling melempar senyuman.

Itulah harapanku. Itulah Impianku. Aku yakin, bahwa kau, dia, dan kita semua punya harapan dan impian yang sama. Semoga itu tak hanya sekedar menjadi harapan dan impian. Marilah kita semua untuk lekas bangkit dan segera wujudkan!
Load comments