Modernitas dan Anak-Anak
Anis Kurniawan Buku Richard Louv Telinga Palsu The Last Child in The Woods Voice of AmerikaModernitas dan Anak-Anak; sebuah catatan pendek selepas membaca buku Telinga Palsu.

Selesai menyeduh kopi di pagi hari, saya duduk menemani tetangga kamar (kakak sepupu saya) di sofa. Sembari mengelus dan mengutak-atik gawainya, ia menawari saya mencoba gim baru yang sedang ia mainkan: mobile legend. Saya menolaknya dengan halus. Tentu dengan kalimat yang sopan. (Bukankah kita harus selalu sopan kepada saudara? Ahh, basa-basi!)
Ajakannya yang bernada memerintah itu, mengingatkan saya pada masa kecil. Masa di mana tak ada mainan-mainan canggih untuk hanya menghabiskan waktu sehari-hari. Masa di mana kita menciptakan permainan kita sendiri bersama teman-teman masa kecil kita.
Beda halnya dengan sekarang, kita diciptakan melalui permainan yang semakin canggih. Manggut-manggut di depan layar yang seakan-akan itu adalah dunia nyata, dan mungkin pada titik ekstase kita akan menganggap ruang yang ada di layar itu adalah surgawi zaman kiwari. Dan layar kecil itu akan menjadi sangat membahagiakan meskipun segalanya hanyalah ilusi yang menjerat kita pada kehampaan nyata.
Lihatlah, bagaimana anak-anak di kota, khususnya di Makassar, dalam mencari ruang bermain. Mereka selalu dikalahkan oleh kejamnya kota yang semakin hari semakin tak menyisakan ruang bermain untuk mereka. Sekali lagi lihatlah, bagaimana sekelompok kecil anak di kota ini bermain di jalan, di jembatan, di bantaran sungai tanpa menyadari bahwa jalanan dan jembatan itu adalah ancaman tersendiri bagi dirinya sendiri.
Dan bagi orang tua atau sebagian anak yang menyadarinya pun akhirnya bermain di dalam kamar, di atas sofa, di mal, di toilet, dan di ruang lainnya bersama dengan gim melalui perangkat teknologi seperti smartphone, laptop, telepon seluler, atau PlayStation.
Fakta ini membuat saya menjadi sangat prihatin, apalagi setelah membaca ramalan Richard Louv dalam bukunya The Last Child in The Woods (2013), bahwa anak-anak yang jarang bersentuhan dengan lingkungan dan alam sekitar akan mengalami gangguan kesehatan mental dan fisik. Ramalan ini disebut oleh Richard Louv dengan nature deficit disorder: sebuah gangguan karena kekurangan pengalaman langsung atau kontak langsung dengan alam.
Adapun beberapa dampak nature deficit disorder sebagaimana yang disebutkan dalam beberapa literatur psikologi lingkungan yakni obesitas dan kurangnya daya tahan tubuh terhadap penyakit, kurang kreatif, peta kognitif yang lemah, kecenderungan agresif pada anak, gangguan psikologis (stres dan autis), dan sifat apatis terhadap lingkungan. Terlebih lagi, jika kita amati berbagai fenomena mencengangkan yang ada di perkotaan tentang anak-anak yang melakukan aksi bunuh diri dan aksi kekerasan, hal ini mengafirmasi apa yang dikatakan oleh Richard Louv di atas.
Namun beda halnya dengan permainan anak-anak di desa - permainan masa kecil saya, seperti permainan kelereng, petak umpet, layang-layang, perang-perangan, dan tali-temali, semua permainan ini memiliki makna filosofis yang dapat menanamkan sikap positif seperti keberanian, kreativitas, kebersamaan, komunikasi, sportifitas, dan kekuatan fisik.
Dan setelah beranjak ke kehidupan kota, tidak lagi saya temukan permainan klasik semacam ini. Hal ini disebabkan oleh serangan teknologi yang merajalela. Teknologi yang dalam hal ini benda-benda yang diciptakan oleh manusia dengan tujuan meringankan pekerjaan manusia, namun malah di sisi yang lain menimbulkan masalah atau efek yang jauh lebih urgen untuk diatasi.
Menurut Anis Kurniawan dalam tulisannya Di Kota Ini, Anak Kita Bermain Api bahwa selain dikarenakan oleh teknologi, degradasi ini boleh jadi disebabkan oleh minimnya ruang bermain. Dalam tulisan tersebut, Anis juga sempat mengutip sebuah studi yang dilakukan oleh Voice of Amerika bahwa pada tahun 2012, Voice of Amerika mengadakan studi perbandingan antara ruang bermain anak di Indonesia dan Amerika. Faktanya, luas ruang bermain di Indonesia rata-rata hanya 2.000 meter persegi per anak, sedangkan di Amerika dan Eropa tersedia ruang dengan luas sekitar 10.000 meter persegi per anak.
Mengapa perhatian akan hal ini penting? Dikarenakan, generasi - dalam hal ini anak-anak, adalah cerminan masa depan sebuah bangsa. Kualitas kehidupan masa depan sebuah bangsa ditentukan oleh kualitas anak masa sekarang. Bukankah anak-anak adalah penerus cita-cita mulia bangsa?