Modernitas dan Anak-Anak

Modernitas dan Anak-Anak

Modernitas dan Anak-Anak; sebuah catatan pendek selepas membaca buku Telinga Palsu.

Selesai menyeduh kopi di pagi hari, saya duduk menemani tetangga kamar  (kakak sepupu saya) di sofa. Sembari mengelus dan mengutak-atik gawainya, ia menawari saya mencoba gim baru yang sedang ia mainkan: mobile legend. Saya menolaknya dengan halus. Tentu dengan kalimat yang sopan. (Bukankah kita harus selalu sopan kepada saudara? Ahh, basa-basi!)

Ajakannya yang bernada memerintah itu, mengingatkan saya pada masa kecil. Masa di mana tak ada mainan-mainan canggih untuk hanya menghabiskan waktu sehari-hari. Masa di mana kita menciptakan permainan kita sendiri bersama teman-teman masa kecil kita.

Beda halnya dengan sekarang, kita diciptakan melalui permainan yang semakin canggih. Manggut-manggut di depan layar yang seakan-akan itu adalah dunia nyata, dan mungkin pada titik ekstase kita akan menganggap ruang yang ada di layar itu adalah surgawi zaman kiwari. Dan layar kecil itu akan menjadi sangat membahagiakan meskipun segalanya hanyalah ilusi yang menjerat kita pada kehampaan nyata.

Lihatlah, bagaimana anak-anak di kota, khususnya di Makassar, dalam mencari ruang bermain. Mereka selalu dikalahkan oleh kejamnya kota yang semakin hari semakin tak menyisakan ruang bermain untuk mereka. Sekali lagi lihatlah, bagaimana sekelompok kecil anak di kota ini bermain di jalan, di jembatan, di bantaran sungai tanpa menyadari bahwa jalanan dan jembatan itu adalah ancaman tersendiri bagi dirinya sendiri.

Dan bagi orang tua atau sebagian anak yang menyadarinya pun akhirnya bermain di dalam kamar, di atas sofa, di mal, di toilet, dan di ruang lainnya bersama dengan gim melalui perangkat teknologi seperti smartphone, laptop, telepon seluler, atau PlayStation.

Fakta ini membuat saya menjadi sangat prihatin, apalagi setelah membaca ramalan Richard Louv dalam bukunya The Last Child in The Woods (2013), bahwa anak-anak yang jarang bersentuhan dengan lingkungan dan alam sekitar akan mengalami gangguan kesehatan mental dan fisik. Ramalan ini disebut oleh Richard Louv dengan nature deficit disorder: sebuah gangguan karena kekurangan pengalaman langsung atau kontak langsung dengan alam.

Adapun beberapa dampak nature deficit disorder sebagaimana yang disebutkan dalam beberapa literatur psikologi lingkungan yakni obesitas dan kurangnya daya tahan tubuh terhadap penyakit, kurang kreatif, peta kognitif yang lemah, kecenderungan agresif pada anak, gangguan psikologis (stres dan autis), dan sifat apatis terhadap lingkungan. Terlebih lagi, jika kita amati berbagai fenomena mencengangkan yang ada di perkotaan tentang anak-anak yang melakukan aksi bunuh diri dan aksi kekerasan, hal ini mengafirmasi apa yang dikatakan oleh Richard Louv di atas.

Namun beda halnya dengan permainan anak-anak di desa - permainan masa kecil saya, seperti permainan kelereng, petak umpet, layang-layang, perang-perangan, dan tali-temali, semua permainan ini memiliki makna filosofis yang dapat menanamkan sikap positif seperti keberanian, kreativitas, kebersamaan, komunikasi, sportifitas, dan kekuatan fisik.

Dan setelah beranjak ke kehidupan kota, tidak lagi saya temukan permainan klasik semacam ini. Hal ini disebabkan oleh serangan teknologi yang merajalela. Teknologi yang dalam hal ini benda-benda yang diciptakan oleh manusia dengan tujuan meringankan pekerjaan manusia, namun malah di sisi yang lain menimbulkan masalah atau efek yang jauh lebih urgen untuk diatasi.

Menurut Anis Kurniawan dalam tulisannya Di Kota Ini, Anak Kita Bermain Api bahwa selain dikarenakan oleh teknologi, degradasi ini boleh jadi disebabkan oleh minimnya ruang bermain. Dalam tulisan tersebut, Anis juga sempat mengutip sebuah studi yang dilakukan oleh Voice of Amerika bahwa pada tahun 2012, Voice of Amerika mengadakan studi perbandingan antara ruang bermain anak di Indonesia dan Amerika. Faktanya, luas ruang bermain di Indonesia rata-rata hanya 2.000 meter persegi per anak, sedangkan di Amerika dan Eropa tersedia ruang dengan luas sekitar 10.000 meter persegi per anak.

Mengapa perhatian akan hal ini penting? Dikarenakan, generasi - dalam hal ini anak-anak, adalah cerminan masa depan sebuah bangsa. Kualitas kehidupan masa depan sebuah bangsa ditentukan oleh kualitas anak masa sekarang. Bukankah anak-anak adalah penerus cita-cita mulia bangsa?

Menyoal Sakralitas Toilet

Menyoal Sakralitas Toilet

Photo by Gabor Monori on Unsplash

“Selalu ada penjahat dalam setiap kisah cinta. Dan dalam kasus saya, itu adalah toilet.”

Kalimat di atas dikutip dari sebuah adegan dalam film India yang berjudul Ek Prem Kathe (Toilet). Film ini berkisah tentang kisah cinta pemuda India yang mencintai wanita yang berbeda tradisi dengannya. Salah satu tradisi yang paling berbeda tersebut adalah tradisi dalam buang air besar.

Dalam kehidupan kita—masyarakat umum di Sulawesi Selatan khususnya Makassar, jika kita merasa ingin buang air besar, kita tinggal masuk ke toilet dan melegakannya di sana. Sama halnya tradisi perempuan berpendidikan India di film tersebut. Di rumah orang tuanya, ia juga memiliki toilet seperti toilet pada umumnya.

Namun berbeda halnya dengan kebiasaan atau adat istiadat lelaki yang menjadi suaminya. Ia memiliki tradisi yang berbeda terutama dalam hal toilet. Dalam tradisi lelaki tersebut, untuk membuang air—buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK), haruslah di tempat terbuka. Dalam artian toilet mereka adalah lapangan terbuka, hutan, pepohonan, dan semak-semak. Toilet ini tidak memiliki pintu dan dinding. Yang ada hanyalah gelap yang bisa dijadikan tirai dari pandangan mata manusia liar. Sehingga untuk berkunjung ke toilet ini, ada waktunya. Biasanya malam atau subuh hari.

Wanita yang menjadi istri lelaki bertradisi aneh itu, belum mengetahui hal tersebut sebelum malam pernikahannya. Sehingga di subuh hari setelah malam pertamanya, ia dibangunkan oleh adik perempuan—tetangganya, untuk bersama-sama beranjak ke toilet mereka. Setelah mengayungkan langkah demi langkah menuju toilet bersama dengan perempuan lainnya di masyarakat itu, ia kemudian memahami bahwa dalam kepercayaan adat istiadat suaminya: tidak ada toilet di dalam rumah.

Akhirnya wanita ini berkali-kali membujuk suaminya untuk membangunkannya toilet. Bahkan tidak ingin tidur bersama jika suaminya tidak membangunkannya toilet. Karena ayah dari suaminya ini adalah penganut adat yang fanatik, ia tidak mengizinkan anaknya untuk membangun toilet. Sebab itulah adat dan warisan tradisi nenek moyang mereka. Pertanyaannya untuk Anda: pantaskah istri Anda buang air besar di tempat terbuka dan umum? (Lebih lanjut silakan nonton film Ek Prem Kathe).

Sesari yang ingin saya simpulkan dalam fim tersebut adalah mahalnya ruangan 2×3 meter itu. Entah, apakah kata ‘mahal’ bisa merepresentasi urgensi dari toilet. Meski pesan yang terkandung dalam film tersebut tidak sesempit ruang toilet.

Dengan menonton film tersebut, Anda akan tahu sakralitas toilet dalam hubungan percintaan. Sehingga argumen pertama sakralitas toilet adalah jika toilet tidak nyaman maka toilet akan menghalangi jalan percintaan Anda. Sekali lagi, nontonlah film Ek Prem Kathe!

Dan sedikit tambahan fakta tentang film yang rilis tanggal 18 Agustus 2017 tersebut: film ini dibuat dengan anggaran 180 juta INR. Dengan penonton yang sangat banyak sebagaimana dilansir dari kapanlagi.com bahwa film berjudul Toilet tersebut menuai pemasukan lebih dari Rp 120 miliar di India.

Pemasukan yang sebanyak itu diraup selama sepekan saja. Fakta tersebut mengindikasikan bahwa film yang berkisah tentang toilet saja bisa menjadi tontonan jutaan bahkan ribuan juta orang. Ada apa dengan toilet? Mengapa ruang kecil semacam itu mampu menarik perhatian banyak orang? Jawabannya: “toilet itu sakral.”

Selanjutnya, sakralitas toilet atau pentingnya toilet juga dapat dibahas dalam perspektif berbagai ilmu pengetahuan. Baik disiplin psikologi, sosiologi, maupun antropologi.

Salah satu pembahasan ini telah diungkapkan oleh Bahrul Amsal dalam tulisannya yang berjudul Antropologi Toilet sebagaimana yang terdapat dalam buku Telinga Palsu.

Dalam tulisan tersebut, setidaknya Bahrul ingin menampilkan pada kita tentang urgensi toilet dalam kehidupan sosial. Menurut Bahrul Amsal, kondisi toilet dalam kehidupan masyarakat dapat merepresentasikan kondisi masyarakat tersebut. Sehingga menurutnya, toilet adalah parameter peradaban dan kebudayaan manusia.

Masyarakat kelas bawah menganggap toilet hanya seruang yang kurang manusiawi, kotor, kumuh dan sebagainya. Sedangkan masyarakat kelas atas memiliki anggapan yang berbeda. Kelas atas biasanya menganggap toilet adalah ruang yang lebih manusiawi dibandingkan masyarakat kelas bawah.

Dari dua anggapan ini bisa kita tarik kesimpulan bahwa dengan toilet yang kumuh, kotor, sebagaimana anggapan masyarakat bawah sudah pasti sulit atau bahkan tidak digunakan untuk membersihkan badan. Tetapi jika toilet itu bersih dan manusiawi maka toilet akan menjadi tempat yang sangat penting untuk membersihkan badan dan sebagainya. Atau dengan kata lain, toilet sangatlah penting dalam keberlangsungan kehidupan yang manusiawi dan bersih.

Sehingga argumen kedua dari sakralitas toilet adalah kesehatan sulit Anda raih tanpa toilet yang memadai. Dan tak mungkin ada kebahagiaan badani tanpa kesehatan yang memadai pula. Sehingga dapat ditarik kesimpulan, bahwa kebahagiaan sulit terwujudkan ketika toilet yang kita miliki masih kumur, kotor, dan tidak manusiawi.

Selain beberapa argumen urgensi toilet atau sakralitas toilet di atas, ada pula anggapan yang banyak dipercayai oleh banyak orang bahwa toilet adalah tempat menyemai banyak inspirasi.

Berdasarkan analisis saya pribadi, kepercayaan tentang hal tersebut disebabkan oleh pengalaman yang sifatnya pribadi pula. Sebagaimana saya pribadi juga mempercayai itu. Bagaimana tidak, saya juga seringkali mendapatkan inspirasi di sana termasuk tulisan ini.

Lantas pertanyaannya, mengapa di toilet selalu menjadi titik sumber inspirasi? Jawaban yang saya tawarkan adalah, hal tersebut dikarenakan bahwa di toiletlah sakralitas tidak temui. (Mungkin argumen ini kurang kuat. Karena sifatnya sedikit cocologi. Mungkin di masa yang akan datang akan ada ilmuwan yang membuktikan itu.)

Maksudnya, tidak satu pun tempat di atas permukaan bumi ini yang memiliki kebebasan sebagaimana kebebasan di toilet, bebas dari sakralitas teologis. Karena bukankah hanya di dalam toilet dilarang menyebut nama Tuhan atau hal-hal yang sifatnya sakral menurut agama?

Nah, dengan kebebasan tanpa batas inilah yang menjadi jalan pintas bagi inspirasi. Sebab inspirasi hanya akan hadir pada situasi yang terbuka dan bebas. Maka sudah sepantasnyalah toilet menjadi tempat alternatif bagi siapa saja yang ingin menyemai inspirasi.

Maka argumen ketiga urgensi toilet adalah toilet menjadi ruang berseminya wahyu-wahyu manusia. Wahyu inilah yang berwujud inspirasi dan ide-ide.

Nah, dari beberapa argumen di atas, setidaknya saya ingin mengatakan bahwa dalam sejarah peradaban manusia—baik masa lalu manusia maupun masa depan manusia, toilet akan sangat berperan. Karena toilet suatu bangsa adalah wajah dari peradabannya.

[Ditayangkan oleh Komunitas ReadPublik di readpublik.com, 8 Januari 2018.]