Bagaimana Menyikapi Perbedaan?

Bagaimana Menyikapi Perbedaan?

Kolom Tanya, Andi Alfian

Tulisan ini merupakan opinial skeptis yang berusaha menanggapi  dan menafsirkan tulisan pendek nan bijak kakandaku Kamal Elfiky yang dipublikasi di Facebook seperti pada gambar di bawah. Status tersebut kurang lebih bernada skeptis sehingga wajarlah tukang pikir di Ruang Skeptis ini tidak ingin ketinggalan dalam memberikan tanggapan sehingga terjadi dialektika skeptis.

Tulisan singkat (status) Kamal Elfiky di atas memberikan indikasi bahwa ia sangat cerdas dalam menyikapi perbedaan. Tentu ini relevan dengan tingkat keilmuan yang beliau miliki. Secara luas makna yang dapat dilihat dari tulisan singkat (status) tersebut adalah niscayanya sebuah perbedaan. Namun dibalik perbedaan yang tampak, ada kemungkinan di antaranya terdapat kebenaran. Sebagaimana tertuang dalam kalimat di atas: “yah mungkin saja ada yang benar”.

Setelah mencoba memahami tulisan singkat (status) tersebut saya merasa sepertinya saya sering mengalami dialektika skeptis demikian. Sehingga dengan cepat saya mengomentari dengan nada sepakat dan melampirkan gambar yang berisi tentang motto sebagai argumen visual yang memberi makna bahwa “saya sangat sepakat dengan tulisan kakanda”. Gambar itu berisi tentang motto atau semacam ungkapan pendek mengenai sisi cinta dalam kehidupan saya.

“Aku sangat mencintai perbedaan hingga kuterlihat berbeda” @andialfianx

Seperti itulah isi gambar yang saya lampirkan dalam komentar tersebut. Kanda Kamal pun membalas komentar dengan paradigma yang berbeda seperti yang ada di gambar di bawah. Silakan tafsirkan komentar singkat yang halus ini dengan bijak. Ingat! Tafsirkan dengan bijak bukan mengajak orang saling menginjak atau Anda menginjak.😁

Setelah mendapatkan balasan komentar yang sangat halus dan bergizi di atas saya merasa enggan lagi berkomentar. Namun setelah saya menghayati komentar tersebut, makna yang tersirat seolah mengatakan pada saya bahwa jika seseorang tidak bisa menyikapi perbedaan dengan dialektika yang kontraversial maka biasa saja, yah biasa saja. Dan makna itu saya dapatkan dari kata “Tidak ada yang ‘wah’ dari itu”.

Sebelum lanjut pada pembahasan bagaimana kemudian saya menanggapi komentar di atas, ada baiknya jika kita bertamasya ke taman filsafat. Di taman ini acapkali ditemukan sangat banyak dialektika perbedaan, sangat banyak dialektika skeptis, dan tentunya itu relevan dengan artikel ini meskipun pembahasan kita ini hanya pada kolom komentar status Facebook bukan taman agave.😀

Karena motto saya di atas bisa saja menghasilkan perbedaan penafsiran, sehingga membuat saya merasa wajarlah jika kanda Kamal Elfiky menanggapi motto itu dengan nada tak sepakat atau mungkin dengan niat memberikan pencerahan–tentunya itu adalah niat baik. Hal itu memang tidak dapat dimungkiri sebab barangkali cara tafsirnyalah yang berupa pola ideal yang ia gunakan membuat pemandangan pada untaian kata itu berbeda.

Sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh seorang filsuf terkemuka yang berasal dari kota Intelektual, Yunani. Filsuf tersebut bernama Plato, ia berpendapat bahwa manusia tidak menemukan kebenaran atau mengalami kekeliruan dalam wujud keseluruhan yang utuh, tetapi dalam wujud parsialnya. Plato mengibaratkan beberapa orang buta yang memperoleh kesan tentang seekor gajah di saat masing-masing meraba anggota tubuhnya. Masing-masing berpendapat sesuai dengan objek yang ditangkapnya, sekaligus menyatakan bahwa yang lain keliru terhadap bentuk gajah dengan berpegang pada sebagaimana gajah yang ia pahami

Begitu pula tafsiran saya dan tafsiran kanda Kamal terhadap motto itu, bisa saja kita berbeda pada bagian apa yang kita raba dari yang kita tafsir sehingga memunculkan perbedaan. Karena saya masih tetap percaya bahwa sangat banyak perbedaan pendapat yang disebabkan oleh perbedaan pola pikir meskipun dengan objek kajian yang sama. Misalnya pendapat kanda Kamal mengatakan mencintai perbedaan itu hanya membuat distingsih bahwa kitalah yang paling benar. Namun bagi saya ada yang tak di sorot oleh kanda Kamal. Di sini saya tidak mengatakan objek yang dikaji kanda Kamal berbeda dengan yang saya maksud. Namun bisa saja perbedaan itu berasal dari pola pikir kita.

Pola pikir berpotensi membuat kita berbeda pendapat sebab pola pikir sangat dikendalikan oleh wawasan yang kita miliki. Artinya perbedaan kita menafsirkan atau memikirkan bisa saja muncul dari perbedaan kecenderungan pengetahuan kita. Misalnya perbedaan pemikiran filsafat yang di kemukakan oleh William James bahwa sesungguhnya sejarah filsafat adalah sejarah pertentangan antar kecendrungan yang berbeda-beda. perbedaan kecendrungan itu berpengaruh di dalam lapangan sastra, seni dan filsafat. Sehingga perbedaan kecenderungan dan kapasitas intelektual sudah pasti akan menyebabkan perbedaan. 

Dan dalam Rasa’il Ikhwan al Shafa dituliskan bahwa “Anda akan menemukan banyak manusia yang baik imajinasinya, tajam pengamatannya dan kuat ingatannya; banyak pula yang lemah dalam berpikir, buta hati dan lemah ingatannya. Ini juga merupakan salah satu penyebab para ulama berbeda pendapat dan mazhab. Apabila kapasitas intelektual mereka berbeda, maka pemikiran dan keyakinan mereka akan berbeda.” Pernyataan di atas menurut saya sangatlah benar sebab, tentu seorang sastrawan dalam mengungkapkan rasa puitisnya berbeda dengan seorang matematikawan.

Namun saya tidak ingin jauh mengungkap keniscayaan perbedaan sebab saya sendiri sangat cinta perbedaan. Saya  mengatakan “Saya sangat mencintai perbedaan” karena seperti itulah yang terbaik bagi saya menyikapi perbedaan. Bukan pada bagaimana mengatakan “Tidak” terhadap perbedaan yang menurut kanda Kamal “Tidak ada yang wah”. Mengapa saya tidak langsung saja dengan mudah mengatakan “Kita berbeda”, sebab apabila perbedaan disikapi sebagai keniscayaan dan sebagai karunia kebersatuan tentunya akan tampak keharmonisasian. 

Yah, cintailah perbedaan sebagaimana Thomas Kuhn menegaskan teori Paradigmanya demi perbedaan, yang tentunya dengan teori itu ia mampu memberikan sumbangsih revolusi ilmiah di zamannya. Dan selain itu pula, saya pikir harmonisasi akan tampak jika perbedaan dapat disikapi dengan bijak. Menurut saya mungkin makna perbedaan seperti itulah yang pernah dipikirkan Socrates, sehingga ia berkesimpulan bahwa ‘apabila sebab perbedaan pendapat sudah diketahui dengan jelas, maka perbedaan itu akan hilang’.

Artikel ini ditulis dengan tergesa-gesa, karena menjelang memasuki ruang kuliah, jadi jika ada salah ketik dan alur tulisan yang kurang silakan dikomentari. Tentu kepada kanda Kamal, ini hanyalah tulisan tanda kesepakatan bukan kritikan. Bukan berarti saya takut mengkritik tapi saya takutnya dikatakan “sok mengkritik, hehe”.😀

Load comments