Etika Seksual dalam Islam
Bertrand Russel Buku Etika Etika Seksual Filsafat Moral Islam Marriage and Morals Murtadha Muthahhari Santo Jerome
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa cinta dan kasih sayang…”
QS.30:21.
Dalam Islam, seksualitas yang dilandasi naluri cinta dan kasih sayang (perkawinan) adalah manifestasi yang luhur dari kehendak Ilahi. Bahkan dalam tradisi Sunah, perkawinan adalah tuntunan hidup yang hakiki. Kehidupan tanpa perkawinan dipandang sebagai kehidupan di luar Sunah dan cenderung kepada kejahatan.
Pandangan Islam tentang seksualitas ini menabrak telak pandangan dan rumusan moral tradisional negatif–Barat Klasik. Dengan radikal, para moralis tradisional tertentu memandang seks sebagai sesuatu yang pada dasarnya buruk. Menurutnya, segala bentuk seksualitas adalah kotor dan kekotoran itulah yang menjadi karakteristik orang-orang berdosa.
Di periode Klasik, pandangan moralitas tradisional negatif ini marak di masyarakat. Sebagaimana dinukilkan oleh seorang filosof Barat, Bertrand Russel dalam buku Marriage and Morals, bahwa:
“Di berbagai tempat di belahan bumi ini, jauh dari pengaruh Kristen dan Budha, ada ordo-ordo pendeta lelaki maupun perempuan yang bersumpah untuk hidup menunggal. Di kalangan Yahudi, sekte Essena menganggap semua hubungan seks sangat kotor. Pandangan ini nampaknya telah berpengaruh di zaman kuno. Sesungguhnya terdapat suatu kecenderungan umum untuk hidup membujang dalam empirium Romawi. Ketika Epicurianisme memudar, muncullah Stoicisme menggantikannya di kalangan orang Romawi yang terpelajar … Kaum Neo Platonis hampir sama skeptisnya dengan orang-orang Kristen. Doktrin yang mengatakan bahwa materi adalah jahat telah tersebar dari Persia sampai ke Barat, diiringi kepercayaan bahwa semua hubungan seks adalah kotor. Ini adalah pandangan Gereja, walaupun tidak dalam bentuknya yang ekstrim…” (Bertrand Russel, Marriage and Morals, h. 31-32).
Akhirnya, pandangan seksual negatif ini mempengaruhi masyarakat khalayak selama berabad-abad lamanya. Sehingga dalam kurung pengaruh inilah bermunculan penolakan segala bentuk nilai dan prilaku seksual termasuk berpasangan hidup: perkawinan.
Kebanyakan asumsi dasar akan pandangan ini adalah adanya hubungan akut antara nafsu dengan seksual. Nah dalam asumsi ini, kalangan orang-orang Kristen (Gereja dan sistem kependetaannya) terinspirasi oleh kehidupan Yesus yang membujang. Sehingga mereka memandang seks atau perkawinan hanyalah pengotoran diri, pelepasan dari kesucian dan kesalehan.
Salah satu kalimat paling energik dan berpengaruh pada pandang tersebut disabdakan oleh Santo Jerome sebagaimana Murtadha Muthahhari mengutip Bertrand Russel, Marriage and Morals, bahwa “gereja menebang pohon perkawinan dengan kapak kebujangan”.
Berjalannya waktu, pandangan seksualitas Barat ini kemudian semakin mengalami pergeseran yang kemudian dalam pandangan seksualitas Barat Modern malah menjadi berbalik 180 derajat. Gereja yang dulunya tidak merestui perkawinan kemudian mulai membenarkan tindakan itu. Membenarkan perkawinan dengan tujuan melenyapkan perzinaan antara lelaki dan perempuan.
Sebagaimana yang lagi-lagi Murtadha Muthahhari kutip penukilan Russel pada Marriage and Morals di halaman 35, bahwa Kristen, lebih khususnya lagi Santo Paulus, memperkenalkan suatu pandangan yang sama sekali baru tentang perkawinan, bahwa perkawinan itu bukan bertujuan, utama untuk melahirkan anak, melainkan untuk mencegah dosa zina.
Jauh dari pandangan seksual tradisional negatif, Islam telah menempatkan seksualitas sebagai tuntutan dalam hidup bermoral. Sebagaimana disahkan di dalam berbagai kitab ditemukan banyak hadis dan riwayat tentang pandangan Nabi yang pro akan wanita dan seksualitas.
Semisal, sebuah kisah yang ditulis oleh Murtadha Muthahhari di bukunya itu: salah seorang sahabat Nabi, Utsman bin Mazh’un, mengabdikan dirinya semata-mata kepada ibadah; setiap hari berpuasa dan setiap malam bangun untuk salat. Dengan perlakuan itu, istrinya melaporkannya pada Nabi. Beliau memperlihatkan reaksi tidak senang dan segera menuju tempat di mana sahabatnya itu berada, lalu ia berkata:
“Wahai ‘Utsman! Ketahuilah, Allah tidak mengutus aku untuk menganjurkan hidup kebiaraan. Syariatku adalah untuk mendorong dan memudahkan pemenuhan hajat manusia yang alami. Aku sendiri mengerjakan salat, berpuasa, dan melakukan hubungan suami istri. Karena itu, mengikuti aku dalam Islam berarti menyesuaikan diri dengan sunah yang kugariskan, yang meliputi tuntutan bahwa laki-laki dan wanita harus kawin dan hidup berkasih sayang secara harmonis.”
Bagi Murtadha Muthahhari, pandangan Islam tentang seksualitas di atas dengan jelas memberikan jawaban bahwa seksualitas tidak selamanya mengandung kejahatan dan bernilai buruk. Pandangan tentang seksual yang jahat dan bernilai buruk itu, bagi Islam, hanyalah tempelan para pemikir tradisional negatif dalam proses penumbuhan moralitas religius di Dunia Barat, sambung Murtadha Muthahhari.
Nah, sekarang, Dunia Barat telah berbalik 180 derajat dari moral tradisional ekstrim yang dijelaskan di atas. Kini Barat mengimani kebebasan seksual (seks bebas) sebagai bentuk moralitas modern. Moralitas ini diklaim sebagai moralitas yang baru atas dasar pertimbangan filosofis dan ilmiah.
Namun, menurut Murtadha Muthahhari baik pandangan seksualitas klasik (tradisional negatif) maupun seksualitas modern (kebebasan seks) tidaklah menuai nilai positif bagi moralitas masyarakat masa kini. Bahkan sebaliknya, meruntuhkan benteng moralitas religius.
Lantas apakah pandangan moral seksual Islam juga sepadan dengan pandangan moral seksual Barat Modern? Jika tidak, bagaimana Islam menawarkan solusi bagi persoalan ini? Bagaimana mensikronisasi perihal cinta, seks, dan etika? Selanjutnya silakan baca bukunya Murtadha Muthahhari, Etika Seksual Dalam Islam. Buku tersebut merupakan terjemahan dari Sexual Ethics in Islam and in The Western World.
To be continue.