Sindrom Selebritas

Sindrom Selebritas

Photo by Priscilla Du Preez on Unsplash

Refleksi kehidupan memang selalu tak punya akhir untuk dituliskan. Meskipun pada dasarnya kehidupan di dunia hanyalah kefanaan. Saya kembali ingin beropini seputar kehidupan khususnya mengenai sebuah gejala, mungkin juga penyakit, yakni sindrom selebritas. Tulisan ini muncul dari eksplorasi saya terhadap diri saya pribadi. Sebagaimana kata seorang bijak bahwa seorang konsultan psikologi paling jenius sekalipun tidak lebih mengerti tentang pikiran dan keinginan kita lebih daripada diri kita sendiri. Saya sadar bahwa tulisan ini hanyalah opini belaka dan itu membuat kata ilmiah menguap lenyap dari analisis ini.

Tapi bukankah tidak ada hal yang tidak mungkin untuk kita tulis? Oleh karena pandangan saya tersebut, membuat saya ingin dengan bebas menulis apa saja yang ingin saya tulis. Meskipun mungkin Anda sebagai pembaca mengatakannya aneh. Itu sekadar keluhan sekaligus informasi bahwa saya tidak bisa memulai tulisan ini dengan langsung membahas apa itu sidrom selebritas. Oleh karenanya, semoga pembuka di atas dapat dimaafkan, hehe.

Selanjutnya kita ke sindrom selebritas. Sindrom selebritas apa sih yang saya maksud? Dari asal katanya Sindrom Selebritas berasal dari dua kata yakni Sindrom dan Selebritas. Dua kata tersebut membuat kita dengan mudah memahami makna istilah tersebut. Sindrom dapat kita artikan sebagai himpunan gejala atau tanda yang terjadi sehingga memberikan indikasi atau tanda bahwa terdapat ketidaknormalan tertentu. Ketidaknormalan inilah yang menciptakan hal-hal yang bersifat emosional atau tindakan yang dapat membentuk pola sehingga kita dapat mengidentifikasinya.

Sedangkan kata selebritas dapat kita artikan sebagai orang yang tersohor, terkenal, termasyhur, atau ternama. Sehingga dari dua kata tersebut, sindrom selebritas, dapat dipahami sebagai sebuah gejala dan saya ingin menyebutnya sebagai penyakit yang secara signifikan memaksa penderitanya untuk melakukan segala dengan dasar ingin disebut selebritas atau ingin menjadi orang tersohor, dapat dikenal dan dilihat oleh banyak orang.

Akhir-akhir ini, semangat menulis saya dilumpuhkan oleh mereka. Mereka yang mengenalkan saya pada tradisi menulis. Penyebab yang membuat mereka aneh menurut saya adalah penyakit sindrom selebritas yang mungkin mulai menjangkitinya. Penyakit yang memandang letak keberhasilan seorang dalam menulis hanya ketika ia mampu menulis pada media tertentu sehingga tulisannya dapat dibaca oleh khalayak media itu. Seperti yang yang dilakukannya.

Misalnya, mereka mengharuskan saya menulis di media luring (media cetak) agar saya dikatakan bisa menulis. Hal itu bahkan membuat saya merasa sulit untuk menulis. Tidak lagi seperti dulu yang dengan semangatnya menulis untuk diri sendiri. Dan sebagian dari mereka bahkan tidak lagi menyapa saya ketika saya belum bisa menembus media tersebut. Dan saya pun minder dengan kegagalan-kegagalan saya. Tapi minder bukan berarti menyerah.

Menyikapi hal itu, saya sangat mengapresiasi tulisan Hernowo dalam buku Quantum Writing yang kurang lebih mengatakan bahwa satu cara menanamkan minat dan tradisi menulis adalah dengan teknik AMBAK: Apa sih manfaatnya bagiku? Segala bentuk yang kita lakukan mestinya dengan refleksi: apa sih manfaatnya bagiku? Nah, bagaimana mungkin aktivitas menulis menjadi tradisi dalam kehidupan kita jika menulis sendiri tidak lagi bermanfaat bagi kita, bahkan terasa sangat menekankan? Menekan karena kita menulis bukan lagi untuk diri sendiri namun, selaku pemula, saya merasa tertekan menulis untuk orang lain sebagai pembaca.

Meskipun demikian, saya tetap mengapresiasi mereka sebagai guru-guru saya, yang telah mengajari saya cara menulis. Ketika membaca tulisan aneh ini, mungkin mereka—guru-guru saya—akan mengatakan: “aahh logika kepenulisan tulisan ini sangat aneh dan hermeneutikanya menyebar ke mana-mana, tak memiliki benang merah!” Kalimat tersebut bagi pemula yang bermental kerupuk pastilah akan remuk. Namun tidak dengan saya. Saya mungkin belum pantas untuk menulis. Namun apalah arti kepantasan, jika bahkan saya tak berani menulis apa saja yang saya pikirkan.

Sindrom selebritas. Saya menulis dengan judul ini karena merasa mulai terjangkiti oleh penyakit ini. Penyakit yang memaksa saya untuk mengenali diri melalui medium realitas sosial eksternal dalam kehidupan. Mungkin juga kalian. Dan bahkan menurut saya, penyakit ini merupakan penyakit kontemporer bagi manusia-manusia modern. Idealnya, proses mengenali diri dalam kehidupan kita tidak mesti melalui medium eksternal namun melalui media ruang internal diri.

Dr. Mohammad Sabri AR. pernah mengatakan bahwa kita terlalu sibuk pada orang lain sebagai suatu hal eksternal sehingga hal tersebut bisa membutakan kita pada ego yang sesungguhnya. Fenomena selebritas ini telah banyak mewabah dalam kehidupan sekeliling kita. Sindrom selebritas dalam kehidupan manusia sebenarnya telah banyak di bahas oleh para filsuf di bidang filsafat eksistensialisme.

Aliran filsafat eksistensialisme secara sederhana membahas manusia sebagai individu bebas tanpa memikirkan mana yang benar dan mana yang salah. Bukan karena tidak tahu mana yang benar atau mana yang salah tetapi bagi eksistensialis, kebenaran bersifat relatif sehingga masing-masing individu bebas memilih yang menurutnya benar.

Karena sedikit-banyak membahas kebebasan, hingga filsafat eksistensialis bisa digunakan sebagai alat analisis dalam memandang penyakit sindrom selebritas. Penyakit yang membuat manusia tidak lagi berekspresi dengan bebas. Karena di sisi yang lain, mungkin secara imaji, pribadi manusia dikontrol oleh manusia-manusia yang lain.

Selain dapat di analisis di bidang filsafat, dalam dunia psikologi, sindrom selebritas juga memiliki ruang kajian tersendiri. Penyakit sindrom selebritas ini di dalam kajian psikologi dikenal sebagai gangguan kepribadian narsistik. Menurut Yudi Kurniawan, seorang psikolog klinis, bahwa ciri-ciri sindrom selebritas atau gangguan kepribadian narsistik adalah kebutuhan untuk dipuji yang sangat tinggi/ekstrem, perasaan bahwa dirinya adalah orang penting dan berpengaruh, kurang berempati, arogan, dan mudah iri dengan kesuksesan orang lain.

Lebih lanjut, Yudi Kurniawan menegaskan bahwa meskipun ciri-ciri di atas mudah kita dapatkan dalam kehidupan kontemporer namun yang mesti ditegaskan adalah kita tidak bisa seenaknya menyebut seseorang mengalami gangguan kepribadian semacam sindrom selebritas ini tanpa diagnosis psikologis yang lengkap.

Oleh karena itu, tulisan ini tidak untuk mengatakan Anda terjangkiti sindrom selebritas namun lebih bersifat informatif. Tentu karena terinspirasi dari prilaku orang lain terhadap saya dan juga prilaku saya terhadap orang lain. Karena kehidupan selalu tentang kita. Aku, kamu, dan kita semua. [ciee]

Lebih lanjut fenomena sindrom selebritas atau narsistik ini bisa juga dianalisis dalam bidang sosiologi. Sebagaimana seorang sosiolog pada tahun 1978, Christopher Lasch pernah menulis buku berjudul The Culture of Narcissism. Dalam buku tersebut, dia berpendapat bahwa gangguan narsistik akan semakin menonjol dalam masyarakat modern. Tentu pendapat ini terbukti jika kita mengamati kehidupan manusia kiwari.

Penyakit narsis yang semakin menonjol di masa modern sebagaimana yang dimaksud oleh Christopher Lasch di atas merupakan konsekuensi dari modernitas. Jika kita menilik hal tersebut, modernitas memang telah mengubah orientasi dan gaya hidup, memunculkan hedonisme, meningkatkan individualisme dan kompetisi, serta membuat manusia terlena dan tergoda terhadap kesuksesan materialistik.

Entah, mengapa tulisan ini sampai di sini. Saya hanya menulis apa saja yang ada dipikiran saya. Tentu segala bentuk pendapat yang saya tulis—pendapat pribadi maupun orang lain—tanpa klarifikasi merupakan subyektivisme belaka. Tapi bukankah menurut Kierkegaard, subyektivitas adalah kebenaran pertama? Ya, kebenaran yang menjadi dasar bagi eksistensi pribadi. Maka izinkanlah saya kembali bereksistensi melalui tulisan ini.

Load comments