Memilih Itu Rumit
Bob Sadino Dewi Lestari Eksibanat XXI Gumam Rectoverso UKM Seni Budaya eSAMemilih Itu Rumit; Mengikuti Kaderisasi UKM Seni Budaya eSA

Sepekan yang lalu, prosesi rekrutmen UKM Seni Budaya eSA dimulai. Seperti para calon anggota yang lain, saya ikut nimbrung dalam berbagai keseruan di setiap tahapan rekrutmennya, termasuk hari ini.
Sore tadi, telah diumumkan hasil lacak bakat—salah satu tahapan seleksi anggota baru UKM SB eSA. Dalam tahapan tersebut, saya dinyatakan lulus di bidang seni teater sebagai pilihan prioritas kedua, setelah bidang seni sastra sebagai pilihan prioritas pertama.
Meski lulus di pilihan prioritas kedua, tak jadi soal. Meskipun ada seonggok dilema, apalagi setelah mendapat kesempatan dari panitia untuk mengubah bidang seni yang dilulusi. Saya sulit menentukan pilihan. Saya pikir “memilih itu memang rumit”, serumit memahami bahasa awan pada langit. Sungguh, memilih itu rumit.
Belasan tahun yang lalu, saya terlahir sebagai manusia. Kata Ibu, manusia yang terlahir di dunia ini adalah manusia yang hebat, sebab mampu mengalahkan 60 juta sperma saingannya kala di dalam rahim. Bahkan kata Ayah, semua manusia yang hidup sesungguhnya makhluk pemberani, sebab berani memilih hidup sebagai manusia.
Itu kata mereka. Meskipun sulit memastikan bahwa memilih hidup sebagai manusia dengan mengalahkan 60 juta lebih sperma adalah pilihan kita sendiri, bukan pilihan Tuhan. Sulit memastikan itu.
Saya percaya—mungkin juga semua orang, bahwa hidup itu penuh pilihan, dan oleh sebab itu, saya merasa hidup itu menjadi rumit dengan berbagai pilihan tersebut. Sungguh, memilih itu rumit.
Banyak hal yang menyebabkan saya percaya, bahwa ‘ragam pilihan yang tersedia membuat hidup ini menjadi rumit’.
Misalnya saja, setiap selesai mandi pagi, saya terkadang kesulitan memilih pakaian yang hendak saya kenakan. Bahkan sampai menghabiskan beberapa menit yang sebenarnya waktu itu cukup untuk digunakan sarapan. Dengan begitu, setiap pagi saya bisa tiba di kampus lebih awal. Hal ini disebabkan oleh banyaknya pilihan pakaian tersedia.
Coba pikirkan, dalam sehari, umumnya setiap orang mengganti pakaian sebanyak 2 kali. Jikalau menghabiskan 5 menit untuk memilih pakaian, maka dalam sepekan dihabiskan waktu 1 jam 10 menit hanya untuk memilih pakaian yang hendak dikenakan. Jumlah menit yang dihabiskan tersebut setara dengan jumlah menit yang digunakan untuk sarapan sebanyak 14 hari.
Hanya untuk memilih pakaian kita harus menghabiskan waktu sebanyak itu. Padahal dalam sehari kita hanya punya waktu hidup selama 24 jam. Dengan begitu, hidup kita hanya menjadi 22 jam 50 menit dalam sehari. Semua itu karena ada dan banyaknya pilihan.
Olehnya itu, salah satu tips agar mudah memilih pakaian serta untuk efisiensi waktu hidup—ini saran saya untuk Anda yang mengalami hal yang sama, adalah dengan mengurangi jumlah pakaian. Caranya mudah: sedekahkan pakaian Anda ke panti asuhan dan sisakan tujuh pasang pakaian untuk dikenakan selama tujuh hari dalam sepekan. Sehingga dengan jumlah pakaian tersebut Anda bisa lebih mudah memilih. Semoga Anda bisa!
Jika saja dalam kehidupan hanya ada satu atau dua pilihan, maka hidup akan menjadi dua tingkat lebih mudah. Karena dengan sedikitnya pilihan itu, memungkinkan kita untuk lebih mudah memilih. Bahkan jikapun pilihan yang tersedia tidak sesuai dengan keinginan kita, tentu dengan tanpa alasan kita akan berusaha melewatinya.
Salah seorang pengusaha terkenal di Indonesia, Bob Sadino, pernah mengatakan: “Orang ‘pintar‘ merasa gengsi ketika gagal di satu bidang sehingga langsung beralih ke bidang lain, ketika menghadapi hambatan. Sedangkan orang ‘bodoh‘ seringkali tidak punya pilihan kecuali mengalahkan hambatan tersebut.”
Pernyataan Bob Sadino tersebut mengindikasikan bahwa kurangnya pilihan lain atau bahkan tidak adanya pilihan lain mampu membuat manusia mengeluarkan daya terkuatnya sebagai makhluk yang sempurna. Singkatnya, secara pragmatis, ragam pilihan dalam hidup hanya akan menjebak dan merumitkan persoalan kehidupan kita. Kedengarannya sih pesimis.
“Selalu saja ada banyak pilihan. Kapan yah, hanya ada satu pilihan?”
Kalimat itu terbayang di pikiran saya sore tadi—ketika ditanya tentang pilihan cabang seni yang hendak saya pilih. Selalu saja ada banyak pilihan. Karena bahkan tak memilih pun juga sebuah pilihan.
Akhir kata, saya ingin mengutip Dewi Lestari dalam bukunya Rectoverso bahwa: “Kadang-kadang, pilihan terbaik adalah menerima”.
Aku terima nikahnya. Upsss.😂