Belajar dari Air

Belajar dari Air

Photo by Tim Marshall on Unsplash

Dalam kepercayaan masyarakat Bugis, setiap urutan kelahiran manusia mengandung makna simbolik. Makna simbolik dikaitkan dengan unsur alam semesta dan unsur inilah yang dipercaya sebagai perwakilan atas kecenderungan sifat manusia. Di antaranya: api, angin, air, dan tanah.

Lalu, keempat anasir tersebut dikaitkan pada urutan kelahiran manusia dalam keluarganya. Adapun pengaitannya meliputi: anak pertama sebagai anasir api, anak kedua mewakili anasir angin, anak ketiga mewakili air, dan anak keempat mewakili anasir tanah. Untuk anak kelima dan seterusnya kembali pada yang pertama dengan urutan: api, angin, air, dan tanah.

Berdasarkan kepercayaan itu, sebagai anak manusia Bugis yang lahir dengan urutan ketujuh, maka saya percaya bahwa kecenderungan sifat dan kepribadian saya diwakili oleh air. Sehingga itulah yang melatari saya, agar dapat memahami hikmah sifat dan kepribadian air yang menjadi perwakilan kelahiran saya. Karena Lao Tzu, seorang filsuf pendiri Taoisme, pernah mengatakan bahwa: “barang siapa yang mengenali dirinya maka ia akan menang di semua pertempuran hidup.”


Air adalah salah satu unsur penyusun alam semesta yang paling dominan. Menurut Lembaga Survey Geologi Amerika Serikat, bahwa total jumlah kandungan air di bumi hampir 326 juta kubik mil dan sebanyak 72% permukaan bumi tertutup oleh air.

Di beberapa penelitian lain menegaskan bahwa, air merupakan tiga perempat bagian dari bumi. Dan yang lebih menarik adalah persentase air yang terdapat dalam diri manusia (mikrokosmos), sama dengan persentase air di bumi, yakni tiga perempat.

Jauh sebelum penelitian tersebut dipublikasikan, tepat di masa Thales di Yunani, ia telah memikirkan alam semesta dan air. Thales selaku filsuf alam (kosmosentris), menelurkan gagasannya yang menyatakan bahwa, asal usul alam semesta dan segala yang ada adalah berasal dari air.

Menurut Thales, air adalah syarat keberadaan alam semesta. Air dapat diamati dan dapat menjadi berbagai bentuk. Air dapat menjadi benda halus berbentuk uap, ia juga dapat menjadi benda keras berupa es. Dan secara totalitas ia menegaskan bahwa air dapat dijadikan sebagai sumber kehidupan seluruh mahluk hidup di alam semesta: baik tumbuhan, hewan, maupun manusia.

Sejalan dengan sesari pentingnya air yang dijelaskan di atas, dalam Alquran surah al-Anbiya ayat 21, Allah telah menegaskan pula bahwa “Kami jadikan dari air segala sesuatu hidup.”

Dikutip dari buku Dia Di Mana-Mana: Tangan Tuhan di Balik Setiap Fenomena karya M. Quraish Shihab bahwa kebenaran firman Tuhan di atas (QS al-Anbiya: 21) telah terbukti melalui penemuan lebih dari satu cabang ilmu pengetahuan. Di antaranya:

Sitologi (ilmu tentang susunan dan fungsi sel), menyatakan bahwa air adalah komponen terpenting dalam pembentukan sel yang merupakan satuan bangunan pada setiap makhluk hidup, baik hewan maupun tumbuhan.

Sedangkan Biokimia menyatakan bahwa air adalah unsur yang sangat penting pada setiap interaksi dan perubahan yang terjadi di dalam tubuh makhluk hidup. Air dapat berfungsi sebagai media, faktor pembantu, bagian dari proses interaksi, atau bahkan hasil dari sebuah proses interaksi itu sendiri.

Lebih lanjut Fisiologi menyatakan bahwa air sangat dibutuhkan agar masing-masing organ dapat berfungsi dengan baik. Dan hilangnya fungsi itu akan berarti kematian pada diri manusia.

Hikmah dan Pelajaran dari Air

Salah satu sifat dari air adalah selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah, dan selalu mengambil bentuk sebagaimana bentuk bejana yang memuatnya. Meskipun kerendahan dan keluwesan demikian, air tetaplah menjadi energi yang sangat kuat.

Sesekali jika Anda memiliki waktu lowong, maka datang dan saksikanlah di tempat Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Aliran air yang sangat keras yang dapat memutar turbin sehingga dapat melahirkan tenaga listrik.

Sifat air ini juga pernah dituliskan oleh Reza A.A Watimena. Ia menuliskan, sifat air yang semacam ini sejalan dengan dengan kebijaksanaan Timur kuno, bahwa kekuatan tertinggi tidak datang dari sikap garang, atau marah, melainkan datang dari kelembutan, seperti air. Sikap lembut berarti menerima apapun yang terjadi, tanpa memilih. Dari keterbukaan total semacam itu, kata Reza, akan melahirkan rasa welas asih dan kebijaksanaan.

Berdasar dari tulisan Reza A.A Watimena, saya ingin menyimpulkan bahwa setidaknya ada dua poin paling penting untuk kita tiru dan amalkan dari sifat air. Pertama, air selalu mengalir ke tempat yang rendah dan tak pernah memaksa melainkan mencari celah untuk melakukan gerak perpindahannya.

Ini berarti bahwa seharusnyalah kita untuk senantiasa menghargai yang di bawah kita dan bersikap rendah hati. Dan yang terpenting, dalam melakukan perubahan atau pencerahan terhadap diri dan orang lain, etis kiranya jika kita tidaklah memaksakan pilihan dan pendapat ke orang lain. Karena bukankah orang bijak itu adalah yang mampu berjalan dijalannya tanpa menghalangi jalan orang lain?

Kedua, sifat air juga: selalu siap menampung segalanya. Segala kotoran, racun, sampah, dan apapun itu akan diterimanya. Dan pada akhirnya—kotoran, sampah, dan sebagainya—itu menjadi hal yang bermanfaat bagi penghuni air. Lihatlah lautan!

Hal ini bermakna bahwa kita selaku manusia seharusnya mampu menerima dan mendialektikakan segala persoalan hidup. Karena dengan dialektika itulah, segala masalah dan keresahan hidup dapat teranulir menjadi solusi dan penyegar hidup.

Tetapi kenyataannya, kita terkadang sangat sulit meniru air. Padahal, M. Quraish Shihab pernah menyatakan sebuah pertanyaan bahwa “maukah kita meniru air dengan berendah hati? Karena, ‘tidak ada sesuatu yang merendah kecuali Allah mengangkatnya ke ketinggian.’”

Load comments