Sejak Kapan Kita Mulai Merasa Malu?
New Tosil Cafe-Resto Psikoanalisa Sigmund Freud Tanya
Berpikir memang sangat memiliki manfaat besar. Namun bagi penggemar filsafat, apalagi yang benar-benar berfilsafat, haruslah mengontrol aktivitas berpikirnya. Sebab, berpikir secara radikal bukan hanya menyadarkan dan menegaskan eksistensi manusia secara esensial. Namun juga akan menimbulkan gejala-gejala sakit fisikal, dan bahkan gejala sakit ini bisa saja meningkat menjadi penyakit dan akan melenyapkan eksistensinya dari kehidupan. Ya, bisa saja berujung pada kematian.
Seperti itulah yang mungkin kurasakan saat ini. Semua badan terasa pegal, nyeri kepala yang terasa kencang, leher terasa kaku, suhu badan sedikit lebih meningkat, padahal tidak ada aktivitas berat yang saya lakukan hari ini. Dan setelah berkonsultasi dengan dokter Google, ternyata gejala fisik yang seperti itu, misalnya nyeri kepala yang terasa kencang merupakan suatu jenis nyeri kepala yang unsur psikologiknya kuat. Dan begitu pun gejala-gejala lainnya yang saya sampaikan katanya merupakan gejala yang tidak spesifik kata dokter Google.
Sehingga kata dokter Google, saya menderita gejala atau sebut saja penyakit Psikosomatis. Dokter Google mengatakan demikian setelah membuka beberapa lembar artikel dari gudangnya dan menemukan beberapa teori tentang itu. Tapi setidaknya saya memahami sedikit dari penjelasan dokter Google bahwa Psikosomatis itu sebenarnya keadaan di mana manusia merasakan gejala fisik yang berasal dari masalah psikis.
Tapi entahlah, kata dokter Google saya tidak boleh banyak berpikir dan beristirahat dengan cukup serta memperbanyak meminum air putih. Saya merasa sedikit jengkel terhadap saran dan petunjuk dokter tersebut. Sebab ia menyuruh saya sedikit berpikir. Padahal apa yang saya pikirkan hari ini belum terjawab. Saya masih ingin memikirkan dan menganalisis pertanyaan: kapankah kita pertama kali mengenal rasa malu?
Bukankah kita merasa malu melakukan tingkah-tingkah yang tidak lazim bagi manusia lain di sekitar kita. Tingkah yang dianggap tidak lazim itu misalnya telanjang di depan umum atau tingkah lain yang sedikit mengandung seksualitas. Meskipun terkadang manusia melakukan itu tidak sengaja namun pada dasarnya itu pasti tetap memalukan. Dalam artian, pelakunya pasti merasa malu. Meskipun mungkin hanya sedikit.
Tapi setelah berpikir, saya menarik hipotesa bahwa rasa malu yang biasanya dimasukkan dalam kategori moralitas ini tergantung pada sejarah dan norma yang ada dalam suatu lingkungan. Sebab kelaziman tingkah dalam suatu lingkungan tertentu pastilah terdapat perbedaan di lingkungan lain. Misalnya di lingkungan kaum primitif yang tidak memakai baju (telanjang) dalam menjalin interaksi sosialnya. Bukankah mereka tidak malu terhadap sesamanya? Lantas darimanakah konsepsi malu yang timbul dalam tradisi kehidupan kita, misalnya?
Pertanyaan-pertanyaan itulah membuat saya sedikit kurang sehat kata dokter Google. Meskipun saya tidak begitu yakin pada dokter Google. Ketidakyakinan saya pada dokter itu karena awalnya, saya menganggap berpikir itu bukanlah aktivitas berat yang dapat menimbulkan gejala-gejala sakit demikian. Bahkan bagi saya sakit dan penyakit seharusnya timbul karena tidak bisa melakukan aktivitas berpikir, misalnya sakit jiwa atau gila.
Meskipun sesekali saya masih memikirkan pertanyaan tersebut. Karena bagi saya, ini pertanyaan menarik sebab saya belum mengetahuinya. Belum lagi jika dikaitkan dengan filosofi budaya Siri’ dari suku Bugis. Karena saya suku Bugis, maka saya tertarik memecahkan pertanyaan ini.
Sebenarnya pertanyaan ini bukan murni persoalan suku dan budaya, namun lebih mendalam. Mungkin pertanyaan ini bisa dikategorikan dalam pertanyaan Filsafat Manusia bisa pula masuk dalam kategori Filsafat Nilai atau Etika. Ya, pertanyaan: kapankah kita pertama kali mengetahui dan merasakan malu? Dan bagaimanakah indikasi yang bisa menyebabkan kita merasa malu?
Jika dilihat dari kata tanya kapan yang dihubungan dengan objek kita sebagai manusia, berarti untuk menjawab pertanyaan tersebut kita mesti mengkaji dan menganalisis sejarah kita, manusia. Sejarah manusia sebenarnya juga cukup kompleks, sebab sejarah manusia memiliki perbedaan pada masing-masing sudut pandang. Misalnya, sudut pandang agama dan sains pastilah memiliki perbedaan. Belum lagi sudut pandang yang lain.
Tapi karena saya manusia beragama, mungkin juga pembaca tulisan ini, maka kita pasti mengetahui bahwa sejarah penciptaan manusia dimulai dari Adam dan Hawa. Sebagaimana yang saya ketahui, bahwa manusia awal yang bernama Adam dan Hawa awalnya masih telanjang. Jika memang pembaca mengatakan tidak telanjang dan punya dalil tentang itu maka silakan dikoreksi. Karena saya bukan ahli sejarah, dan bukan pula ahli agama.
Yang pasti, jika memang Adam dan Hawa saat itu masih telanjang maka apakah Adam merasa malu pada Hawa? Atau sebaliknya, apakah Hawa merasa malu pada Adam? Apakah mereka tidak merasa malu karena masih berdua? Lantas kapankah rasa malu manusia itu muncul dalam sejarah kehidupannya. Entahlah, pertanyaan itu muncul jika kita memakai perspektif agama, khususnya dalam tradisi agama Islam.
Sebenarnya pertanyaan ini muncul dari bincang-bincang saya dengan Ma’ruf Nurhalis. Kami berdiskusi soal pandangan Psikoanalisa Sigmund Freud. Bahwa Sigmund Freud mengatakan rasa malu itu lahir atau muncul ketika kita menyadari bahwa kita tidak bisa menikahi ibu kita. Menurut Maruf, apa yang dia sampaikan tentang Freud bisa saja keliru dalam arti ia menyarankan saya untuk membaca secara langsung buku pemikiran Sigmund Freud.
Dan akhirnya setelah bincang-bincang siang itu selesai, saya pun beranjak ke toko buku Paradigma Ilmu untuk mencari buku yang berkaitan tentang pemikiran Sigmund Freud namun sayangnya stoknya habis. Akhirnya saya pun masih penasaran pada Sigmund Freud. Saya penasaran pada pemikirannya, apakah benar-benar ia menjawab pertanyaan tersebut atau tidak?
Rasa penasaran ini akhirnya memacu saya untuk berpikir sendiri mengenai hal ini. Saya kembali mencoba bertanya pada diri sendiri: Kapankah saya mengenal rasa malu? Tapi pertanyaan tersebut terjawab secara simpel bahwa orang tua dan orang-orang di sekeliling saya-lah yang mengajari saya tentang malu. Meskipun saya lupa kapan pertama kali. Namun dari jawaban tersebut muncul lagi pertanyaan, lantas kapankah orang tua dan sekeliling saya mengetahui rasa malu itu? Bukankah pertanyaan ini akan terhubung sampai pada manusia yang pertama kali tercipta?

Inilah pertanyaan yang tak pernah lepas dari pikiran saya setelah bincang-bincang di New Tosil Cafe and Resto hingga kembali pulang ke rumah. Dan akhirnya, saya menumpahkan pertanyaan-pertanyaan skeptis itu di sini, dalam kondisi kesehatan yang kurang sehat. Tapi semoga tulisan ini tetap menyegarkan pikiran saya kelak.