Kita Ingin Jadi Apa?
In Search of Authenticity From Kierkegaard to Camus Jacob Golomb Makna Cinta Oxford English Dictionary Soren Kierkegaard Tanya
Dalam celoteh singkat ini, saya ingin mengawalinya dengan sebuah cerita fiktif. Dulu, terdapat sebuah sarang elang yang terdapat di atas dahan pohon. Pada sarang tersebut terdapat beberapa telur elang yang sedang dierami oleh induknya—induk elang.
Dan pada suatu waktu, terjadi bencana alam. Dalam periwayatan cerita ini tidak dijelaskan secara rinci bencana tersebut, entah angin kencang ataukah sebuah gempa. Bencana tersebut mengakibatkan salah satu telur yang ada dalam sarang itu jatuh atau menggelinding ke bawah dan masuk ke dalam sangkar ayam.
Dalam sangkar ayam tersebut, terdapat induk ayam yang sedang mengerami telurnya. Melihat ada sebutir telur—telur elang—yang terletak di dekatnya, ia mengira telur itu juga salah satu telurnya. Akhirnya induk ayam tersebut mengambil dan menggabungkan telur tersebut dengan telurnya yang lain di sarangnya sehingga bisa mengeraminya secara bersama-sama.
Setelah tiba waktunya, telur-telur yang dierami induk ayam tersebut pun menetas termasuk telur elang yang dieraminya. Karena ia lahir dalam lingkungan ayam, si Elang kecil ini pun percaya bahwa ia adalah seekor ayam. Bahkan ia juga sangat mencintai induknya yakni induk ayam dan sangkarnya sebagai rumahnya kelahirannya. Setelah kelahirannya, ia menghabiskan hari-harinya sebagai ayam. Meskipun ia pada dasarnya adalah seekor elang.
Hingga pada suatu waktu, ia melihat burung elang besar terbang tepat di atasnya dengan gagah. Ia merasa dirinya seperti elang itu. Ia benar-benar sangat mengaguminya. Dan pada saat itu muncul keinginan dan keyakinan dalam dirinya bahwa suatu saat ia ingin terbang tinggi dan gagah seperti elang tersebut.
Para saudaranya, yang sebenarnya tak sedarah dengannya—para anak ayam—tertawa dan menertawakannya setelah mendengarkan harapannya untuk terbang. “Kamu mau terbang seperti elang itu? Hahaha, mana mungkin kamu bisa terbang, kita kan hanyalah seekor ayam!” Sindir anak ayam pada si elang kecil dengan tangan memegang perut karena tergelitik dengan tawa.
Si anak ayam yang lain malah berlari-lari lalu melompat-lompat seraya berkata “yyyaaaaaaa sssyyuuuuu, saya si ayam terbang, hahahaha”. Begitulah para anak ayam itu meledek si elang kecil.
Si elang kecil yang dulu sangat berkeyakinan bisa terbang seperti burung elang gagah yang pernah disaksikannya, akhirnya mengurungkan niat dan bahkan meragukan dirinya untuk bisa terbang setelah banyak mendapatkan ledekan-ledekan semacam itu dari saudara tak sedarahnya.
Ia kini tidak lagi memiliki keinginan untuk terbang, dan semakin meyakini bahwa mustahil untuk terbang. Hingga tiba pada suatu waktu Tuhan mencabut nyawanya sebagai elang bodoh. Ia mati terkulai dan mimpinya tentang ia bisa terbang tidak mungkin lagi ia wujudkan.
Nah, itu salah satu cerita fiktif yang bisa mewakili pertanyaan awal saya: kita sebetulnya ingin jadi apa? Saya pikir, semua pembaca pastilah punya pemaknaan tersendiri terhadap cerita fiktif di atas.
Namun bagi saya, makna yang penting untuk digarisbawahi adalah: kita tidak tahu siapa dan di mana kita dilahirkan. Kita tidak bisa memilih siapa yang akan melahirkan kita, juga tak bisa memilih di mana seharusnya kita dilahirkan. Namun meskipun demikian, kita masih bisa memilih satu hal penting: kita hendak jadi apa.
Dalam diri kita selaku manusia, terdapat potensi dan derajat yang tinggi. Namun hukum kelahiran sebagai awal kehidupan mendeklarasikan kita sebagai makhluk yang lemah. Sebagaimana kelahiran elang di sarang ayam mendeklarasikannya sebagai ayam yang lemah.
Namun, waktu dan kehidupan yang menemani kita beranjak menuju manusia yang lebih lebih besar, menuju manusia yang lebih kuat, entah secara fisik maupun mental, menyadarkan kita bahwa ada hal yang lebih besar dari sebuah kelahiran, yakni harapan. Harapan kita akan masa depan.
Pertanyaan: kita ingin jadi apa? adalah pendobrak harapan dari hanya sebatas harapan, semacam pengingat kita akan mimpi yang hanya sebatas mimpi. Setidaknya, pertanyaan ini mampu menunjukkan jalan refleksi bagi kita—sebagai manusia berpikir—untuk menelusuri kembali jalan-jalan gelap dari harapan dan mimpi kita. Sebab, dalam pandangan okultisme, harapan dan mimpi adalah jembatan ruang tak kasat mata menuju ruang kasat mata. Ruang mimpi tak bertepi menuju ruang realitas tanpa batas. Begitulah cara harapan bekerja.
Manusia secara fitrah memiliki harapan, memiliki mimpi dan cita-cita, seperti si elang kecil yang bermimpi untuk terbang. Harapan hanyalah sebatas harapan, mimpi hanyalah sebatas mimpi, jikalau keyakinan tidak disertai rasa percaya diri, usaha dan ikhtiar penuh pada harapan dan mimpi itu.
Dan yang lebih penting, bagaimana kita bisa berdiri autentik bersama dengan harapan kita. Keautentikan diri lahir dari pengetahuan yang memadai dan rasa percaya diri. Bagi yang selalu mendengarkan kata ini, tentu tidak sulit memahaminya. Namun bagi yang masih kurang yakin akan pengertian kata autentik, bisa membuka kamus-kamus yang tersedia.
Dalam Oxford English Dictionary misalnya, saya mengutip dari buku Yanny Yeski Mokorowu bahwa di kamus ini kata autentik diartikan sebagai sesuatu ‘paling pertama, asli dan bukan cetakan, sesuatu yang nyata, aktual, asli dan bukan khayalan atau pura-pura’.
Sedangkan jika kita menggunakan filsafat dalam memandang wacana autentisitas ini, bisa melalui filsafat eksistensialis. Menurut Jacob Golomb dalam bukunya ‘In Search of Authenticity From Kierkegaard to Camus’ sebagaimana yang kutip oleh Yanny Yeski Mokorowu dalam bukunya Makna Cinta bahwa secara umum, kaum eksistensialis setuju bahwa pada prinsipnya setiap definisi positif autentisitas akan menjadi peniadaan-diri (self-mullifying).
Pemikir-pemikir eksistensialis berupaya menghancurkan keyakinan dogmatis dan mengintruksikan kita untuk melepaskan diri dari norma dan ideologi yang diterima secara buta. Karena pada dasarnya, menurut para pemikir eksistensialis, dengan melepaskan diri dari segala nilai-nilai yang dijunjung dalam berbagai situasi—di keluarga, di kampus, dll—maka kita dapat meraih autentisitas diri, menjadi bebas menentukan kita ingin jadi apa setelahnya.
Begitulah seharusnya manusia bersikap. Mengenali diri dan menjaga autentisitas dirinya. Karena jika tidak, ia akan menjadi budak. Dan semakin bertambah hari semakin banyak manusia yang jadi budak, hingga membludak. Karena ia hidup dalam bayang-bayang perbudakan. Bayang-bayang cibiran di luar diri, sehingga takut menjadi diri sendiri.
Sebagai penutup saya menampilkan sebuah puisi yang saya tulis beberapa bulan lalu:
Tak Ingin Menjadi
dulu
aku ingin menjadi pohon di pinggir danau
aku ingin berdiri tegak, walau angin selalu datang menghalau
dulu
aku ingin menjadi air
aku ingin mengalir dengan elegan dalam hidup dan kehidupan
dulu
aku ingin menjadi matahari
aku ingin menyinari tanpa mesti disinari
seperti aku mencintai
dulu
aku ingin menjadi angin
aku ingin menyegarkan orang lain tanpa mesti menyegarkan diri
dulu
aku ingin menjadi hujan
aku ingin menjadi penyemangat hidup bagi bunga-bunga jiwa
dulu
aku ingin menjadi rembulan
aku ingin menerangi wajahmu dalam gelap meskipun aku adalah kegelapan
entah..
aku tak ingin lagi menjadi pohon
aku tak ingin lagi menjadi air
aku tak ingin lagi menjadi matahari
aku tak ingin lagi menjadi angin
aku tak ingin lagi menjadi hujan
aku tak ingin lagi menjadi rembulan
hanya saja
aku ingin menjadi aku
menjadi diri sendiri, autentik bersama bayang lahut dalam diri.
Makassar, 03 Agustus 2017.